Lelaki 'Grup' Parent

Zihfa Anzani Saras Isnenda
Chapter #7

#7 Peran Ayah Dalam Ketiadaan

Pagi pagi buta aku terbangun oleh mimpi buruk perpisahanku bersama Steff dan Reshy. Mendengar nama mereka saja kembali membuatku jatuh dalam kerinduan mendalam. Kulihat jam di dinding kamarku, waktu masih menunjukkan pukul 5 subuh, tapi kantukku sudah hilang menyisakan resah dan rasa takut.

Dalam keadaan seperti ini, aku hanya membutuhkan pelukan ayah. Kuputuskan untuk mendatangi kamar ayah. Orang pertama yang kutuju adalah Dadi, pria yang selalu memelukku dengan lembut dan nyaman. Pria yang selalu mengetahui isi hati dan keinginanku. Tapi keadaan kamar Dadi gelap gulita tak seperti kebiasaannya yang selalu membutuhkan penerangan. Kupanggil-panggil pun tak ada sahutan. Aku memutuskan menuju kamar lainnya, dari mulai Bi, Badi, Diwan sampai Aput. Tapi keheningan selalu menyambutku. Aku mencoba mengecek studio rumah, tapi juga kosong yang kutemukan. Kondisi rumah benar-benar terasa sunyi seperti tak berpenghuni.

Aku memutuskan menenangkan diri sendiri dengan segelas susu. Dan semua kebingunganku terjawab begitu secarik kertas menampakkan dirinya di atas meja makan.

"Ayah harus pergi ke Bali. Maaf karna kontrak ini sudah ditandatangani dari jauh-jauh hari. Nanti selesai konser ini, ayah janji akan mengajakmu jalan-jalan menghabiskan waktu bersama.

Ayah berangkat pukul 2 subuh, dan tidak tega menganggu tidurmu. Kau bisa pakai mobil Bi untuk sekolah.

Baik-baik, jangan nakal, banyak yang mengawasimu. ingat selalu pesan ayah. Salam Cinta.

-Musisi Jalanan-"

Aku mengeluh sendirian. Bagaimanapun caraku meminta perhatian penuh dari mereka, tetap tak mampu membuat mereka memilihku dari pekerjaan musisinya. Lalu kenapa aku harus menuruti mereka menjauhi teman pria?

Lagi-lagi aku melakukan segala persiapan sekolahku sendirian. Sebenarnya keadaan dengan ada atau tanpa mereka pun sama saja, aku tetap harus mandiri dan kesulitan sendiri. Seperti waktu mereka di sisiku, mereka selalu sibuk bermusik sampai tengah malam, membuatku harus bangun sendiri dan mengurus keperluan sekolah setiap harinya sendirian. Kehadiran mereka hanya untuk mengantar-jemputku dan mengekangku secara langsung. Lalu ketika mereka pergi, keadaan tak jauh berbeda. Hanya saja pengekangan mulai melonggar meski tetap tercipta melalui pesan-pesan tulisan ayah.

Aku hendak memasuki mobil Bi, namun fokusku teralihkan oleh penjaga villa yang tengah memanaskan motor trail-nya. Sebuah ide nakal muncul di benakku.

"Pak. Boleh pinjem motornya?" Tanyaku langsung pada bapak itu.

"Aduh neng jangan, ayah neng gaakan ngijinin." Bapa itu menolakku dengan lembut.

"Ayah gaakan tau kok" Pintaku penuh harap.

"Tapi neng, saya mau pergi juga hari ini anter anak."

"Kita tukeran aja pak, bapak bawa mobil ayah, aku motor bapak." Ucapku yakin.

Sesaat, bapak penjaga villa kami berpikir keras namun pada akhirnya ia menyetujuiku karna uang yang berbicara. Setelah sedikit pelajaran penggunaan motor, aku pun memberanikan diri menggunakan motor tersebut. Awalnya keadaan baik-baik saja, tapi begitu memasuki jalan besar, kondisi jalan mulai padat membuatku panik secara mendadak. Aku pun lupa cara menghentikan laju motor tersebut, dan hanya mampu memperlambatnya.

Bruuukk.. aku menubruk sisi belakang sebuah mobil mewah dengan cukup keras. Motor trail yang kubawa sedikit penyok, sedang mobil mewah yang kutabrak langsung tergores parah.

Si pemilik mobil menghentikan laju kendaraannya, dan langsung keluar mengecek keadaan. Sudah pasti ia akan melontarkan semua amarahnya padaku. Aku pasrah memasang badan untuk menerima semua cercaan dan tuntutan ganti rugi.

"Kamu ini!!!" Bapak-bapak pemilik mobil keluar dengan panik. Ia mengecek keadaan mobil belakangnya yang sudah cacat.

"Kenapa pak?" Suara dari dalam mobil terdengar sampai pada posisiku.

"Tergores parah, tuan."

Kupikir, bapak yang tadi membentak dan memelototiku adalah pemilik mobil itu, namun ternyata sang pemilik masih berada di dalam mobilnya.

"Maafkan saya, mas." Aku melongo ke kaca mobil belakang, tempat duduk si pemilik mobil. Dan pemandangan mengejutkan menyambutku.

"Darma?"

Darma menyuruh supirnya untuk segera masuk dan kembali melajukan mobilnya. Aku berusah mengejarnya, namun laju mobil itu kalah cepat dari lariku.

*

"Maaf pak saya terlambat." Aku datang pukul 8 pagi setelah sebelumnya harus beradaptasi dengan motor trail yang kubawa.

"Telat 1 jam, yasudah duduk sana." Titahnya.

Meski memaafkanku, aku masih bisa mendengar suaranya yang pelan. "Untung kau anak para musisi jalanan."

Sepanjang perjalanan berlangsung, aku terus saja memperhatikan Darma. Ia masih belaga bisu meski aku telah mengetahuinya.

Darma mengacungkan tangannya dan memberi bahasa isyarat untuk izin ke kemar mandi.

Lihat selengkapnya