"Kau tidak lihat rumahku? Besar tapi hampa." Darma menyadarkanku.
"Kemana orangtuamu?"
Darma terkejut dengan pertanyaanku. Tapi ia tak menjawab apapun.
"Entah kenapa, kedua orangtuamu terlihat tak asing di hidupku. Tapi aku juga tidak tahu mereka siapa." Ucapku lagi.
Di luar dugaanku, Darma justru tertawa mendengar itu.
"Kau tidak punya televisi di rumah?" Tanyanya
"Aku gasuka nonton tv, kecuali untuk ayahku."
"Mereka Rose dan Mario Lawrez , selebriti populer, sama seperti ayahmu." Jelasnya
"Tapi kenapa orang-orang tak mengistimewakanmu sepertiku?"
Belum Darma menjawab, ponselku tiba-tiba berdering menampilkan nama Diwan di layarnya. Mereka terus bergantian menelponku. Aku tak pernah menghiraukannya. Aku hanya ingin mereka menyadari kekecewaanku.
"Ayahmu?" Tanya Darma yang menyadari kegelisahanku.
Aku tak bicara apapun dan masih saja fokus pada layar ponselku. Sampai ayah mengirimku pesan.
"Ayah tampil di tv sebentar lagi." Pesan terakhir dari ayah.
"Darma, boleh aku meminjam televisi?" Tanyaku pasti
Darma menyetujuinya, ia mengajakku menuju ruang keluarga dan lalu menyalakan televisi yang terpajang.
Beginilah aku ketika merindukan ayah, menyaksikan mereka melalui layar kaca. Aku tersenyum melihat permainan musik mereka yang selalu mengagumkan. Meski tak ikut bernyanyi, setidaknya aku bisa ikut merasakan perasaan bangga ayah saat manggung di depan ribuan orang.
"Kau menikmati ketika ayahmu menghibur banyak orang?" Tanya Darma yang ternyata memperhatikan tingkahku sejak tadi.
"Aku menikmati setiap kebahagiaan mereka." Jawabku
"Meski mengorbankan kebahagiaanmu?" Tanyanya lagi
"Aku tidak tahu." Seketika suasana hatiku berubah menjadi sedih.
"Jujurlah pada dirimu sendiri. Aku juga benci pekerjaan kedua orangtuaku." Ucap Darma.
"Memangnya setelah jujur, bisa apa?" Tanyaku
"Kau bisa menghibur diri dengan caramu sendiri."
"Contohnya?"
"Aku tidak tahu, kesenanganmu kau yang rasa sendiri."
"Bagaimana denganmu?"
"Tentu saja berpura-pura bisu, menjadi kutu buku, dan pria lemah." Ungkapannya membuatku terkejut dan tak percaya.
"Tapi kau ditindas, apa enaknya?!"
"Penindasan itu adalah bentuk perhatian mereka padaku. Asal kau tahu, aku senang dengan apa yang kuterima dalam kondisi ini."
Sesaat aku terdiam memikirkan maksud kata-katanya.
"Dulu, aku menggunakan cara ini untuk mengambil perhatian orangtuaku, tapi tak berhasil. Mereka tetap cuek dan mengurus semuanya dengan uang. Ketika aku tahu orangtuaku takkan pernah memberikan perhatian padaku, tiba-tiba hal itu kudapat dari luar, ketika kondisiku seperti ini." Jelasnya
"Terus maksudnya, aku juga harus pura-pura jadi bisu sepertimu? Atau pura-pura buta, atau--"
"Jangan mengikutiku. Kau juga tidak akan bisa, toh popularitasmu sebagai anak musisi jalanan sudah terlanjur melejit." Darma memotong ucapanku.
"Lagipula kau tidak sepertiku. Ayahmu menyayangimu, memperhatikanmu. Tidak seperti orangtuaku." Lanjutny
"Tapi mereka lebih mementingkan musik daripada aku." Keluhku.
"Pintarlah, cari cara supaya mereka beralih mementingkanmu."
Jika kupikir lagi, aku juga telah melakukan caraku sendiri selama ini. Ketika Darma memilih jalan ini, aku justru selalu berusaha menjadi anak nakal dan bermasalah di sekolah, mengorbankan citra baikku demi perhatian ayah. Tapi bahkan, mereka sudah kebal dan terbiasa dengan tingkahku. Aku menceritakan hal itu pada Darma.
"Kalau begitu kau salah cara. Ayahmu juga pernah muda dan nakal, melawan aturan yang ada. Tindakan yang kau ambil adalah hal biasa bagi mereka. Carilah hal lain yang akan membuat mereka khawatir berlebih padamu."
Aku termenung sampai akhirnya aku menemukan sebuah ide baru. Aku sadar, ayah selalu khawatir dengan keselamatanku, maka aku akan menghampiri bahaya yang selalu ayah pikirkan.
"Aku akan pulang." Tuturku. Darma langsung berdiri dan bersiap.
"Aku bisa bawa motor sendiri." Tolakku
"Terserah, aku punya motor sendiri."