Sejak hari itu, ayah benar-benar tidak lagi pergi meninggalkanku. Mereka bahkan merelakan ganti rugi besar untuk pembatalan konser dan tour demi fokus merawat dan menjagaku. Satu hal yang kusadari sekarang, mereka tidak pernah menolelir sesuatu yang menyangkut keselamatanku.
Kehadiran mereka, benar anugerah terbaik untukku. Hanya dalam 2 hari saja kondisiku sudah pulih dan membaik, menyisakan goresan kecil saja bekas luka.
Di sisi lain, aturan dan pengawasan ayah semakin ketat. Mereka tentu saja sangat menyalahkan Darma atas keadaanku yang mengenaskan tempo lalu. Ayah semakin yakin jika tidak ada pria baik walau sekadar menjadi temanku. Mereka selalu mengantar jemputku, dan mengawasiku secara langsung. Keadaan seperti ini juga semakin mengikat dan menyiksaku.
Tapi yang tak kuduga, Darma justru tidak lagi menjauhiku. Meski telah menerima perlakuan ayah yang kasar dan membahayakan, Darma malah tidak takut lagi dekat denganku.
Kembalinya aku ke sekolah juga menghadapkanku pada rutinitas membosankan terkait seni. Kelas menggambar dan melukis, musik, tari, akting, dan lain-lainnya. Tidak ada lagi kutemukan aktivitas penghilang penat yang kusukai (olahraga). Waktuku banyak terkuras untuk belajar, namun tak memberi hasil baik. Aku selalu saja gagal dalam pembelajaran, baik itu musik, lukis, tari ataupun drama. Sedihnya lagi, aku seringkali mendapat nilai terendah di kelas untuk setiap mata pelajaran tadi. Di Da Vinci setiap pelajarannya memang dalam tingkatan sulit karena mereka ingin menghasilkan para seniman hebat yang nyata.
Aku selalu terbuka pada ayah termasuk untuk kebodohanku satu ini, mereka tidak mempermasalahkan itu. Tapi tetap saja aku merasa terbebani dengan kebodohanku sendiri, terutama ketika orang - orang terus menghubungkan kebodohanku dengan posisi ayah sebagai seniman. Selain musik, ayah juga populer dengan kemampuan seni lainnya, seperti Dadi dan Bi yang pandai melukis, Diwan yang pandai berakting sampai sering menjadi bintang televisi, Aput yang pandai serta hobi tari modern, khususnya hiphop, dan Badi yang pandai semua jenis seni.
Setiap hari, Ayah hadir untuk mengajariku, namun fokusnya kerap kali terbagi dengan pekerjaannya. Setiap kali mereka mengajariku, mereka justru mendapat inspirasi baru. Akhirnya, yang kulakukan tak lain menyaksikan mereka. Lagipula, bagaimanapun aku belajar, sepanjang apapun aku berpikir, dan siapapun guruku, semua itu tetap sia-sia. Aku bukan tipe orang yang mudah menangkap pembelajaran jika itu berkaitan dengan hal yang tidak kusukai, termasuk seni.
Bagiku seni itu membosankan, berbeda dengan olahraga yang selalu menantang adrenalinku, memacu kerja jantung, dan memiliki sisi kompetisi di dalamnya.
Sampai pada titik di mana aku penat menjalani sekolah semacam ini. Terus mendapat nilai buruk dan terus menghadap guru pembimbing untuk diberi arahan. Kupikir, akhir dari semua ini sudah jelas. Aku tidak akan naik kelas dan melakukan semua kesia-siaan.
Dan hari ini, diriku berontak secara diam-diam. Saat ayah mengantarku ke sekolah, aku tidak langsung masuk ke kelas untuk belajar. Melainkan mencari jalan pintas kabur dan membolos.
Aku menggunakan jasa angkutan umum menuju tempat yang terakhir membuatku celaka, namun tak mudah terlupa. Keadaan siang hari tak seramai ketika kondisi mulai gelap. Yang terlihat sejauh mata memandang hanyalah pedagang kaki lima dan para pejalan kaki. Suasana sangat berbeda.
Aku terus melangkahkan kakiku menyusuri tempat ini, tapi tak ada sediktpun ciri-ciri kehidupan balapan liar. Kuputuskan untuk beristirahat di sebuah tempat makan bakso gerobak, sembari memperhatikan keadaan. Sampai akhirnya mataku tertuju pada satu titik berjarak cukup jauh dariku, namun sedikit tersembunyi. Motor Darma yang mengkilat tengah terparkir rapi di depan sebuah bangunan kumuh yang dipenuhi coretan dinding. Aku tidak mungkin salah lihat, aku ingat setiap detail motor Darma yang sangat mewah itu.
Aku mendekat menuju tempat tersebut. Semakin dekat, motor itu semakin bersinar menyambut kedatanganku. Kusentuh motor itu dengan lembut. Entah mengapa, rasanya sedih harus merelakan motor sebagus ini. Jika Darma merasa ini bukan hal yang penting, seharusnya sejak awal ia berikan padaku.
"Kau merindukannya?" Sebuah suara mengejutkanku. Aku berbalik dengan cepat dan memasang badan sigap jika saja ia akan mengajakku berkelahi. Tapi yang kudapati justru posisinya yang tengah terduduk santai di atas motor ditemani dua orang wanita cantik di sisi kanan dan kirinya.
"Aku tidak pernah memakainya. Ambilah kembali." Ucapnya sembari meniupkan asap rokok keluar dari mulutnya.
"Kau Adam yang dulu menatangku?" Tanyaku memastikan.
"Apa ketampananku begitu mudah dilupakan?" Tanyanya balik.
Aku diam saja, sampai Adam melemparkan kunci motor Darma ke arahku.
"Ingatlah, kau berhutang satu pertandingan denganku." Tuturnya
"Ajari aku." Pintaku pasti.
Adam mendekat ke arahku, meninggalkan kedua wanitanya begitu saja.
Ia kembali mengepulkan asap rokok dari mulutnya, kali ini ia arahkan penuh ke wajahku. "Kau bercanda?" Ia tertawa merendahkanku.
Rasanya aku ingin menghajarnya saat itu juga, tapi untuk kali ini saja.. aku harus menurunkan harga diriku.