Aku memutuskan untuk berbohong 'lagi' pada ayah. Setidaknya, berbohong untuk kebaikan tidak akan membuat mereka marah.
"Yah, aku ikut eskul Karate dan Basket. Akan lebih sibuk setiap pulang sekolah. Apa gapapa?" Tanyaku memberanikan diri di sela sarapan kami.
"Harus banget 2 sekaligus?" Bi nampaknya tidak setuju meski aku tengah berbohong.
"Iya, soalnya akan ada kompetisi di dua bidang itu. Dan aku ingin ikut." Ucapku
"Yasudah gapapa."
"Kalian gausah tungguin Cello dari pagi sampai pulang ya. Nanti Cello kabarin aja kalau udah pulang."
"Oke."
Aku pun melanggengkan rencanaku untuk mendatangi kembali arena balap liar sepulang sekolah. Kali ini, niatku berbeda. Bukan hanya upaya menyenangkan diri semata.
"Adam!" Seruku begitu melihat pria itu hendak bersiap memasuki garis start.
Adam menatapku dengan terkejut, "kau masih hidup?" Tanya Adam tak percaya
"Sialan! Siapa bilang aku mati?"
"Temanmu yang waktu itu, pemilik motor...." Adam menggantungkan ucapannya dan langsung melirik motor yang hendak ia gunakan.
"Turunlah dari sana." Pintaku
"Jangan sekarang, aku harus bertarung." Adam hendak menjalankan kembali motornya, tapi aku langsung mencegatnya.
"Biar aku yang gantikan."ucapku yakin
"Jangan bercanda!" Adam mulai acuh padaku
"Aku serius, kumohon beri aku kesempatan sekali lagi."
Sesaat Adam terdiam dengan tatapan tak bisa diharapkan.
"Kau sudah dua kali kalah dalam pertarungan. Kau juga sudah ingkar janji untuk melawanku, jadi motor ini sudah milikku. Dan lagipula, kau juga sudah sangat lama lepas dari dunia ini. Apa alasan kuat untukku memberimu kesempatan?"
"Aku membutuhkan uang." Jawabku cepat.
Adam terdiam memberiku celah untuk kembali bicara.
Aku berlutut di dekat motor Adam.
"Ayahku bangkrut dan sedang dalam keadaan ekonomi mendesak. Kumohon bantu aku." Pintaku penuh harap.
Beberapa saat, pria itu berpikir. Dari wajahnya, aku bisa melihat perasaan iba yang ia lontarkan padaku. Tapi kemudian, ia melajukan motornya tanpa menjawabku sama sekali.
Tolakkan Adam terasa menghancurkanku. Sudah tidak ada harapan apapun untukku membantu ayah. Ini tidak sesuai janjiku pada ayah untuk bisa membanggakannya
Teman-teman Adam menepuk bahuku, "Dia sebenarnya merindukanmu." Kata mereka.
Mereka juga membawaku menuju perlombaan, sekadar menyaksikan dan menjadi pendukung Adam. Balapan kali ini berlangsung sengit. Adam terus memimpin dengan berani. Pria itu terlihat berkharisma dan lebih garang ketika sedang beraksi. Sampai akhirnya, Adam tentu saja memenangkan pertandingan.
"Begitu caranya bertarung." Adam berbicara padaku dengan dingin.
Aku diam, mengaku kalah. Hanya dalam kompetisi satu ini kehebatanku dipertanyakan. Rasanya sangat sulit untuk meraih kemenangan.
Seseorang bertubuh besar menghampiri kerumunan kami, dan memberi segepok uang, tanda kemenangan Adam.
"Aku akan mengalahkanmu di pertandingan berikutnya." Tuturnya seraya meninggalkan kami.
Adam melihat ke arahku terus, entah apa maksudnya. Dalam tatapannya yang tajam, keadaanku kian salah tingkah. Adam selalu bisa membuatku seperti ini meski telah lama berlalu. Satu persatu dari teman Adam meninggalkan kami berdua, membiarkan kami berbicara secara privasi.
"Nih ambilah." Adam menyodorkan uang itu padaku dengan cuma-cuma.