"itu hadiah dari kompetisi karate dan bulutangkis." Jawabku asal.
"Kalau kau benar menang kompetisi, mana medalimu?"
Aku terdiam. Sulit memang berbohong pada orang-orang yang mengajarkanmu berbohong.
"Cello, kau merampok?" Aput menuduhku
"Tidak mungkin Aput!" Sanggahku
"Lalu apa?"
"Aku menjual ...." Kugantungkan ucpanku, memikir jawaban paling logis yang bisa kupakai.
"Kau menjual dirimu? Organ tubuhmu!" Diwan mencengkram kuat kedua bahuku.
"Diwan. Itu sudah di luar akal sehat" Sanggahku lagi.
Mereka mantapku meminta penjelasan yang sebenarnya. Kutarik nafas panjang sebeluk menjawab alasan bohong selanjutnya.
"Aku menjual motor Darma, dia mewarisi itu padaku."
Mereka nampak terkejut dan masih tidak mempercayaiku. Maka kusebutkan saja merek mewah dari motor Darma. Sampai akhirnya ayah tak lagi menanyaiku.
*
Hari-hari selanjutnya, aku kembali memenangakan pertandingan balap liar. Meski tak mendapat uang sebesar pertandingan pertamaku, tapi setidaknya itu sudah cukup membantu. Aku bisa menghasilkan 5 sampai dengan 20 juta untuk satu kali tanding, tergantung orang-orang yang menantangku.
"Kau semakin hebat saja, aku bangga padamu." Adam mengelus rambutku
"Aku punya hadiah untukmu." Lanjutnya sambil menunjukkan 2 buah tiket di tangannya.
"Moto gp?!" Seruku tak mempercayainya
"Kau harus ikut, Ini minggu depan." Ajak Adam
Aku benar-benar tak percaya. Menonton moto gp secara langsung di lapangan, tentulah keinginan besarku yang tak pernah ayah kabulkan.
"Aku harus izin ayah." Ucapku
"Ya silahkan anak ayah." Adam selalu menggodaku seperti ini setelah waktu lama kedekatan kami.
Akhirnya kulakukan juga. Kali ini aku tidak berbohong.
"Ayah, guruku memberi hadiah tiket nonton moto gp di eropa." Tuturku langsung
"Gurumu perempuan atau laki-laki?" Tanya Diwan
"Laki-laki sih, tapi--"
"Ada teman perempuan yang ikut?" Tanya Aput mempongku
"Ada!" Seruku kesal. Sebenarnya aku tidak berbohong sepenuhnya, karna aku tidak tahu kebenarannya. Kupikir, Adam juga akan membawa gadis-gadisnya melihat kelakuannya yang tak pernah lepas dari gadis manapun.
"Baiklah. Tapi, kami harus menemui gurumu dulu." Putus Bi.
Aku tidak merasa hal ini akan menghalangiku. Adam pasti akan membantuku dengan mudah. Aku hanya perlu mendandani pria itu dengan tampilan guru pada umumnya.
"Kenapa sih harus se-ribet ini? Aku tuh gasuka pakai kemeja formal gini." Adam terus saja mengomel