Lelaki 'Grup' Parent

Zihfa Anzani Saras Isnenda
Chapter #16

#16 (Epilogue) - Akhir Kebenaran

Tubuhku lemas, sangat lemas. Air mataku turun tanpa bisa kuprediksi sebelumnya. Aku pun jatuh terduduk di atas aspal.

"Jangan pernah sekali lagi kau katakan itu! Cello anak kami." Bi menegaskan jawabannya. Tapi emosinya yang meledak seolah menunjukkan jawaban lain.

"Kembalikan Celloku!" Adam mulai mengeras. Ia bangun dari posisinya menghampiriku di antara lima pria posesif di sisiku.

Dadi dan Diwan menahan langkahnya dengan kuat. Mereka juga melayangkan berbagai pukulan pada Adam. Kali ini, Adam tak tinggal diam dan mulai ganas menghajar ayah. Kekuatan yang terlatih, serta kemampuannya yang tak perlu diragukan lagi tentu saja dengan mudah menaklukan ayah. Membuat lima orang pria kesayanganku berjatuhan ke tanah.

Kenyataan ini membuatku lumpuh. Aku tak bisa membantu ayah, aku juga tak berniat memeluk Adam seperti sebelumnya. Yang bisa kulakukan hanyalah terduduk dan menangis sambil menyaksikan keributan tersebut.

"Cello, anakku." Adam mendekat ke arahku. Ia berlutut tepat di hadapanku. Tangannya terulur hendak menyentuh pipiku.

Cepat aku mundur menghindari sentuhannya. Mataku terarah pada ayah yang kian lemas dan dipenuhi lebam juga darah.

"Cello, jangan dengarkan dia.. kau anak kami." Dadi berbicara dengn kekuatannya yang tersisa.

Aku tak bisa menerima semua ini. Rasanya begitu menyakitkan dan menyedihkan. Perlahan, kakiku bergerak mengajakku mundur dari semuanya. Entah apa alasannya, tapi aku hanya ingin mundur dari kenyataan ini. Aku tidak bisa menerima semuanya dengan mudah.

Sampai......

"Cello!"

Teriakkan ayah dan Adam secara serempak memenuhi indera pendengaranku, diikuti cahaya yang berjalan cepat mendekat. Tanpa sadar, aku telah memasuki arena balap, menyodorkan diriku pada para pembalap. Kecepatan mereka yang tinggi tak bisa dengan mudah dihentikkan hanya karna kehadiranku yang tiba-tiba ke dalam arena. Kejadian tak diharapkan pun terjadi. Sebuah motor menabrakku dengan kuat. Tubuhku terpental menabrak sebuah pohon besar. Rasanya nyeri menjalar di seluruh tubuhku. Berdenyut dan tertekan kuat. Darah mengalir dari setiap sisi bagian tubuhku, kepala, tangan, kaki.

Pria-pria yang sedari tadi beradu pendapat berlarian ke arahku. Adam dengan wajahnya yang basah dan mata bengkak karna tangis. Serta Ayah dengan lebam dan darah keluar dari beberapa sisi wajah mereka.

"Cello, bertahanlah."

Perkataan mereka berhasil membuatku tenang. Aku ingin menutup mataku menghilangkan rasa sakit, tapi kebersamaan ini tak ingin kuhilangkan meski sebentar saja.

"Cello." Panggilan namaku terus terngiang di telingaku. Aku sudah tidak sanggup bernapas, tapi kekuatan muncul begitu aku mendengar panggilan nama itu. Kukerjapkan mata terus menerus berharap wajah-wajah mereka tak hilang dari pandanganku.

Wajah mereka tampak bersinar dengan rupa yang kian tak jelas. Aku takut... aku ingin sekali memeluk mereka, tapi aku tak lagi memiliki kekuatan untuk bangkit. Nafasku semakin sesak, keadaanku sudah lumpuh dan benar-benar lemas.

Suara nyanyian mengalun lembut di telingaku, menyanyikan lagu anak-anak yang dulu sering kudengar. Air mataku menetes secara refleks. Itu suara Dadi, suara merdu yang sudah sangat lama tak lagi mengalunkan irama nada. Sangat indah dan menenangkan hatiku, aku rindu suara ini bernyanyi.

"Suara indah Violoncello. Kuatlah sayang." Aku tidak bisa mengenali suara ini. Yang jelas, suara itu milik salah satu dari ke-lima ayahku yang telah bercampur isakan.

"Ay-ah." Sebuah kekuatan mendorongku untuk berbicara meski dengan suara lemah dan terbata. Entahlah apa ayah bisa mendengarnya atau tidak.

"Kami semua di sini sayang. Kau harus bertahan"

Sebuah tangan lalu menggenggam jemariku erat. Membawanya menuju sebuah muka.

"Sayang, ini aku Adam. Maafkan aku karna tidak pernah menyadari kehadiranmu."

"Ad-am." Tuturku lagi dengan lemah. Air mata kembali lolos dari mataku.

"Sayang, kuatlah, jangan tinggalkan ayah kandungmu ini." Ucapnya

Sakit ini memang sangat menyiksa, tapi aku tidak bisa menyerah. Setidaknya, aku ingin mengetahui kebenaran semuanya sebelum aku pergi.

Aku dibawa ke tempat yang sangat kubenci. Aromanya saja sudah sangat menyesakkanku.

Berbagai alat dipasangkan ke tubuhku, banyak jarum di suntikkan menembus kulitku. Sakit.

"Maaf kalian harus keluar dulu." Tutur dokter.

"Ay-ah.. te-tap di si-ni." Pintaku terengah.

Lihat selengkapnya