Jalanan Ibukota mendadak senyap. Orang-orang hilang seperti ditelan bumi, dan gedung-gedung runtuh merata dengan tanah. Kemudian tubuhku seolah ditelan malam. Meresap ke dalam ruang yang gelap, yang dipenuhi suara : menikah itu bunuh diri tanpa kehilangan nyawa.
Suara itu miliknya. Dengan penuh keyakinan, sekitar tujuh tahun yang lalu ia katakan itu dihadapan kami sepulang kuliah.
Dan kini, ia akan menikah.
Dunia telah menyuguhkan banyak cerita tentang orang-orang yang mengingkari keyakinannya. Ada yang berakhir baik, sebagian lagi tertimpa nasib buruk, sisanya di area abu-abu – atau katakanlah, hidup segan mati tak mau. Kemungkinan terakhir yang kukira akan menimpanya. Dan aku tak mau itu menimpa Eva, calon istrinya.
Kabar pernikahan mereka kudengar dari Mamanya Eva, yang dengan nada memohon, memintaku untuk membatalkan pernikahan putrinya karena ia menganggap calon menantunya tak menghargai adat dan sampai sekarang tak memiliki pekerjaan yang jelas.
Dia memang pernah mengatakan, “Penghargaan terhadap semua nilai itu semu. Jangan bicara adat, moral, dan agama kalau kau masih serakah.”
Sementara Eva memenuhi segala kriteria untuk diperebutkan lelaki.
Eva kini menjadi dosen di sebuah universitas negeri di kota Medan. Selain menjadi dosen, ia aktif di komunitas sosial yang memberi pendidikan gratis kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu. Alasan Mamanya memang masuk akal. Menyetujui pernikahan mereka sama saja mengantarkan putrinya ke sarang penyamun.
Tapi kenapa setelah undangan disebar terlahir niat untuk membatalkan?
Pertanyaan itu yang membuatku seolah ditelan malam. Kenapa tidak dari dulu, setahun atau dua tahun lalu? Dan semakin terkurung setelah terbersit niat untuk membatalkan pernikahan Eva sekaligus merebutnya dari lelaki itu.
Niat itu memaksa otakku berpikir keras untuk mencari cara bagaimana membatalkan pernikahan mereka. Semakin berat kemudian karena harus meyakinkan nurani bahwa yang kulakukan memang tindakan yang wajar.
Tapi kubulatkan tekad. Sebelum fajar menyinsing, aku harus memutuskan langkahku. Malam ini, lembaran-lembaran kenangan bersama sepasang calon pengantin itu akan kubuka kembali untuk mencari celah sebagai jalan pemisah mereka.
***
Eva gadis yang baik dan manis – atau mungkin karena kebaikannya ia kupandang manis, entahlah. Yang jelas, setiap kali melihatnya, seperti aku melihat titisan Bunda Teresa dari Kalkuta dan Kate Winslet dalam satu pribadi.
Aku mengenalnya ketika kami sama-sama aktif di sebuah komunitas sosial di kota Medan.
Waktu itu aku baru memasuki semester tiga. Bosan dengan kegiatan yang gitu-gitu aja di kampus, aku mencari kesibukan di luar. Tak butuh perjalanan yang rumit, aku bisa bergabung dengan sebuah komunitas.
Saat pertama kali ikut kegiatan komunitas itu, aku melihat Eva. Waktu kurasakan membeku. Sedetik melihatnya serasa berbulan. Seolah kami sudah kenal lama.
Tanpa pikir panjang, aku tancap gas. Segala tentangnya dengan cepat kudapat : ia anak perempuan satu-satunya dari empat bersaudara, keluarganya cukup kaya, jurusan psikologi di kampus yang sama denganku dan impiannya ingin mendirikan sekolah untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu.