Lelaki Merpati

Mikhael Naibaho
Chapter #2

SaveEva

Aku langsung bangkit setelah mendengar alarm dari hp. Seperti robot yang sudah diprogram, aku melakukan kebiasaan tanpa berpikir: melangkah dengan cepat, membuka pintu, menyambar ember tempat perlengkapan mandi yang terletak di sisi pintu, lalu mengambil handuk yang tergantung di jemuran kecil di lorong menuju kamar mandi.

Tapi kudapati semua pintu kamar mandi tertutup –sudah ada orang. Aku hanya bisa mengutuki keterlambatan. Seandainya tak perlu mandi ke kantor, pikirku kesal.

Kulempar pandang ke langit tanpa semangat dimana mentari mulai mengintip. Dan wajah Eva terlukiskan disana. Kasihan dia, batinku. Bisakah dia hidup di kampung kami?

Kubayangkan dia setiap sore harus mendengar gosip tetangga. Atau setiap weekend ada saja yang datang untuk bergosip. Dan tanpa tahu sebabnya, ada saja yang tiba-tiba memusuhinya: Mengumbar fitnah dimana-mana, menatapnya hina seperti baru saja merebut suami orang, dan hal-hal yang mungkin tak dialaminya sepanjang hidup di kota. Lalu dengan enteng, suaminya – ah… mudah-mudahan saja tidak jadi – berkata, “Manusia tak hidup dari gosip.”

Oke. Kalau tidak gosip, bagaimana dengan ini:

“Bodok, ya! Lulusan S2 tapi nikah sama guru honorer.”

“Sayang kali ijazahnya kalau hanya di rumah nunggu suami dengan gaji tiga ratus ribu sebulan.”

“Capek-capek orangtua membesarkan, akhirnya nikah sama petani nyambi guru honorer.”

Sanggupkah Eva bertahan menghadapi itu semua? Belum lagi fasilitas pendidikan dan kesehatan jauh tertinggal. Apalagi bila didampingi lelaki yang meng-gampang-kan segala sesuatu.

Dan aku hanya bisa mengutuki diriku yang belum berani mengambil keputusan setelah semalaman berpikir.

Eva bisa saja membenci diriku setelah membatalkan pernikahannya.

Hidup di Ibukota belum tentu lebih baik dibanding di kampung kami.

Jika Eva akhirnya bersamaku, akankah sepenuh hati?

Pertanyaan-pertanyaan itu kembali memenuhi kepalaku seakan belum puas berputar disana semalaman. Kupejamkan mata sejenak. Lalu menengadah berharap jawaban turun dari langit seperti yang dialami orang-orang zaman dulu. Tiba-tiba wajah lelaki itu terlukis di antara awan.

Sial!!!

***

Sehabis mandi, aku iseng mengetuk layar hp. Setelah lampu latar menyala, terlihat ratusan pesan belum terbaca. Ratusan? Aku mengernyitkan dahi.

Sambil berpakaian, kubuka kunci layar hp yang kini kuletakkan di meja. Dan… aku kaget setengah mati: grup wa baru dengan nama aneh dan lucu.

#SaveEva

Aku langsung bisa menebak percakapannya. Grup itu berisi teman-teman kuliah dulu. Biasanya kalau ada teman yang akan menikah, kami mengumpulkan uang sebagai tanda sukacita. Tapi kali ini berbeda. Perlahan, pesan kubaca satu per satu.

“Bencana terbesar abad ini.” Tulis Arian, si pembuat grup. Dia adalah lawan debat abadi lelaki itu.

“Menikah adalah bunuh diri.*eh gitu gak sih.” Yang lain melanjutkan.

Beauty and the Beast.”

Lihat selengkapnya