Jiwa yang bebas
berkelanalah mencicip bahaya
Kelak setelah melampaui batas
temui aku di altar bahagia
Puisi itu kubaca tiga tahun yang lalu di beranda facebook Eva. Rangkaian kata itu sangat melekat di kepalaku karena kupikir status itu ungkapan patah hati. Aku sangat senang saat itu. Meski memang, ada terbersit tafsiran kalau Eva berharap dapat bersatu kembali kelak.
Dilematis. Di satu sisi aku ingin mengambil kesempatan, tapi jika kulakukan, bisa-bisa Eva membenciku.
Akhirnya kuputuskan akan terus mengikuti timeline media sosialnya. Sesekali kuberanikan mengirim pesan dan dia menjawab dengan ramah. Maksudku, tidak hanya sekadar: baik. Terima kasih. (hanya berhenti di situ). Tapi dia juga bertanya balik keadaanku. Bahkan kadang-kadang, dia menambah bahan perbincangan. Tentang pekerjaan atau keadaan ibukota, misalnya.
Tapi aku tak mau buru-buru mengambil kesimpulan kalau dia membuka hati untuk perasaanku yang dulu. Bisa saja itu keramahan seorang teman. Lagipula aku belum pernah mengungkapkan keinginanku menjadi pacaranya. Aku berusaha bersikap biasa saja. Apalagi setelah ia kembali menulis puisi:
Entah kau akan datang atau tidak
Aku akan setia menunggu
Tanpa batas.
Dan ketika kutuliskan sajak ini
Kusadari kau dan aku telah menyatu