Setelah mengurus cuti, sebuah pesan masuk ke hp-ku: Selamat siang, nama saya Zizah. Saya sedang membuat film pendek tentang pernikahan. Saya dapat info dari teman Anda bernama Redi, yang mengatakan Anda punya teman yang akan menikah dengan gadis rebutan lelaki waktu kuliah dulu. Padahal teman Anda memiliki banyak kekurangan. Bisa ketemuan nanti? Terima kasih.
Aku terdiam sejenak setelah membaca pesan itu. Rasa-rasanya, belakangan begitu banyak hal baru yang mengguncang hidupku. Diriku tampaknya tak siap pada perubahan. Tiba-tiba terlintas kalimat yang pernah ditulis Eva di facebook-nya: kenyamanan akan membunuhmu.
Baru hari ini aku mengerti maksudnya. Atau mungkin dulu sulit kupahami karena kuanggap itu pemikiran lelaki itu? Jadi ada semacam prasangka yang membuat kalimat itu luput dari perhatianku. Padahal itu bisa saja nasihat seorang calon psikolog. Entahlah. Yang pasti aku tidak siap pada perubahan yang mendadak. Hidup nyaman – menurut ukuranku – melemahkanku.
Aku termenung sejenak, kemudian kembali membaca pesan itu. Membayangkan pertemuan yang akan kuhadapi, dan pertanyaan apa yang akan diajukannya. Kenapa gak, pikirku. Siapa tau pertemuan itu memberi ide lain untuk membatalkan pernikahan mereka.
Kubalas: iya. Dimana kita akan bertemu. Kalau boleh sore atau malam ini. Soalnya lusa mungkin aku pulang kampung.
***
Kami sepakat bertemu di sebuah café di kawasan Jakarta Timur. Sepulang kantor, aku langsung pesan Ojek Online menuju tempat pertemuan. Hanya beberapa menit, setelah melewati jalan tikus di antara rumah warga kampung kota, aku tiba di tujuan.
Ketika memasuki café itu, aku langsung menuju sebuah meja di sudut ruangan – sesuai pesannya. Seorang perempuan berambut pirang duduk disana sedang bermain hp. Itu pasti Zizah, pikirku setelah sebelumnya membandingkannya dengan foto profil yang ada di wa.
“Zizah, kan?” sapaku. Dia langsung bangkit dengan senyum sambil menjulurkan tangannya untuk menyalamku. Dia begitu cantik. Wajahnya berseri. Dan rambut pirangnya memancarkan semangat.
Dia mengawali percakapan. “Maaf tadi formal banget wa nya,” katanya sambil duduk. “So, benar ‘kan yang aku wa?”
Aku tersenyum tipis – masih jaga image. “Kenal Redi darimana?”