Fiki menghela napas dan mengubah posisi duduk. Pertanyaan Hendri seperti soal ujian yang membutuhkan kesiapan untuk menjawabnya.
“Kamu masih lebih beruntung dibanding aku, Hen. Kamu masih dapat kalimat lembut dari ibu Citra. Sedang aku, oh my god. Aku bahkan begitu trauma menatap mata ibu Aara.”
Hendri, tertawa.
“Ya, salah kamu sendiri. Kok sukanya pada wanita bertipe ibu Aara. Di dalam kelas saja, dia begitu dingin dan menyeramkan. Kamu malah bawa perasaan. Gila kamu!”
Fiki tersenyum.
“Hen, hati tidak pernah bisa memilih, dia akan terpaut kepada siapa. Memang ibu Aara sangat berbeda dengan ibu Citra. Tapi, aku merasa, justru disitulah pesonanya.
"Aku penasaran, pria seperti apa yang bisa menaklukkan hati beliau,” tutur Fiki, lembut. Topik tentang Aara, seketika menghipnotis dirinya.
Hendri menggelengkan kepala.
“Kamu itu cari masalah sendiri. Ada Firda yang selama ini ngejar-ngejar kamu, dicuekin. Malah mau mengejar singa, yang siap menerkam kapan saja.”
“Iya singa, tetapi singa romantis, haha,” tawa Fiki pecah.
“Romantis?”
“Kamu pasti enggak tahu, ibu Aara itu orangnya romantis. Dia dingin, tetapi pada momen tertentu, kelembutan dan keramahannya, terlihat jelas.”
“Kok kamu bisa tahu? Tahu dari mana?”
“Sudah, sudah! Kayaknya waktu kita habis hanya untuk membahas ini. Kita kembali ke skripsi!”
“Kan belum selesai ceritanya?”
“Nanti kita sambung lagi. Lihat jam kamu, sudah jam sebelas siang!” ucap Fiki.
“Astagfirullah. Iya, aku lupa!”
Keduanya pun, bergegas meninggalkan kelas.
Semenjak Citra bergabung menjadi dosen di kelas Hendri dan Fiki, dia sudah menarik perhatian Hendri. Parasnya yang menyejukkan, selalu tersenyum, benar-benar membuat Hendri jatuh cinta pada dosennya itu. Hendri sampai melupakan statusnya sebagai mahasiswa.
Dia kadang tidak sadar menatap lama Citra, baik di dalam kelas maupun di setiap pertemuan, di luar kelas. Demikian pula dengan Fiki. Entah mengapa, kedua sahabat ini bisa jatuh hati pada dua dosen yang juga berteman dekat.
Fiki sangat tertarik dengan kepribadian Aara. Tidak sama dengan wanita-wanita pada umumnya. Aara cantik, tetapi sikapnya selalu dingin kepada lawan jenis. Namun, itu yang membuat Fiki semakin penasaran, dan begitu mengidolakan dosennya itu.
Pukul dua belas siang, kampus terlihat ramai. Beberapa tampak asyik duduk santai di sekitar lapangan basket. Beberapa tampak sibuk, keluar masuk di ruangan dosen.
Azan duhur berkumandang dari masjid besar di dalam kampus. Tampak, para mahasiswa dan dosen bersegera memenuhi panggilan Tuhan-nya. Mereka menyatu tanpa batas. Kenyataan yang menunjukkan, bahwa di hadapan Tuhan, tiada beda antara manusia. Terlihat Citra dan Aara, juga berada di antara jamaah salat duhur siang ini.
Hendri dan Fiki juga terlihat berjalan cepat menuju masjid, mengejar salat berjamaah. Sesungguhnya, tiada yang lebih penting dan lebih indah, daripada pertemuan dengan Tuhan. Pertemuan dengan-Nya, Sang Khalik, pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi. Penguasa yang nyata maupun yang gaib.
Beberapa menit berlalu.
Dua orang mahasiswa sedang berjalan di koridor masjid, mengambil sepatu yang mereka simpan di tempat penitipan. Mereka kemudian duduk, namun fokus mereka seketika berubah, saat Citra dan Aara melintas di hadapan mereka.
“Eh, ibu Citra dan ibu Aara,” bisik salah satu mahasiswa ke rekannya.
“Kenapa?” sahut yang lainnya.
“Aku tuh, suka banget lihat mereka berdua. Dua-duanya cantik, saliha. Pengen banget suatu saat nanti bisa seperti dosen kita itu.”
“Kalau aku fans banget sama ibu Citra. Cantiknya paripurna, sempurna!”
“Berarti kali ini, kita berbeda. Aku lebih suka ibu Aara. Kalau kamu bilang ibu Citra itu sempurna, aku bilang ibu Aara itu, unik, berbeda dan paket komplet.”
Keduanya tertawa.
“Kita ini ya, menghayal-nya terlalu jauh, haha,” ucap Tuti.
“Enggak apa-apa, namanya harapan. Ya siapa yang tahu, kan?” sahut Lenny. “Tapi yang aku heran, kok keduanya kompak banget, ya? Sama-sama jomlo.”
“Kamu tuh, kayak enggak bisa lihat saja. Ibu Citra dan ibu Aara kan, wanita salihah. Enggak mungkinlah, ada kata pacaran di kamus mereka. Kalau nikah, ya pasti!”
“Iya maksud aku, kok belum nikah?”
“Kalau Ibu Citra, aku sering dengar, pak Restu nge-fans banget sama beliau. Cuma itu, ibu Citra tidak menanggapi. Kalau Ibu Aara, memang menjaga jarak dari lawan jenis. Di dalam kelas saja, dia selalu menjaga jarak dengan mahasiswa laki-laki."
“Iya kita tunggu saja berita baiknya. Kita enggak usah bahas terlalu jauh! Ayo kita balik ke kelas.”
Mereka pun, meninggalkan masjid.
Citra dan Aara menjadi dua dosen yang cukup terkenal di kampus. Citra terkenal dengan kecantikan wajahnya, yang selalu menjadi bahan perbincangan mahasiswa-mahasiswa. Sedangkan Aara sangat dikenal dengan kecerdasannya. Dan juga sikap dinginnya pada mahasiswa laki-laki.
Aara selalu memberikan prioritas pada mahasiswa perempuan, dan tidak ada kompromi untuk mahasiswa laki-laki. Itulah yang terkadang dikeluhkan oleh mahasiswanya. Mereka menuntut keadilan Aara dalam memperlakukan mereka.
Namun, tidak ada yang mampu mematahkan argumen Aara. Setingkat Rektor pun, tidak bisa berbicara panjang lebar, jika berhadapan dengannya.
“Kelas kamu sudah selesai?” tanya Aara pada Citra, di ruangan dosen.