Kei menarik napas, pasrah.
“Cerita apa Bang?” tanya Fiki, penasaran.
Belum menjawab, Fajar kembali tertawa. “Abang kenapa? Kok malah tertawa lagi. Gak capek?” tanya Hendri, heran.
“Oke. Kalau kalian dengar cerita ini, kalian akan tertawa seperti Abang,” bela Fajar.
Tampak Kei hanya diam di tempat duduknya. Berusaha sibuk, mengabaikan kesibukan tiga pria yang sementara membahas dirinya.
“Abang Kei itu, jangan ditanya tentang cinta. Dia mana tahu, artinya jatuh cinta,” lanjut Fajar, dengan sorot mata masih ke arah Kei.
“Jadi Abang Kei, belum pernah jatuh cinta?” tanya Fiki. “Bisa dibilang seperti itu!” jawab Fajar.
“Aku enggak percaya saja, Bang. Abang itu kece parah, berbakat, tetapi enggak pernah jatuh cinta? Hidupnya sepi amat dong!” tutur Hendri.
Ketiganya kembali terkekeh, mengejek Kei.
“Kalian tuh, kayak enggak punya kerjaan lain, ya? Ha, membahas sesuatu yang enggak penting sama sekali,” ujar Kei, kesal. “Dulu waktu kuliah, sebenarnya dia pernah dekat dengan seseorang. Tapi hanya bertahan satu bulan,” sambung Fajar.
“Ha? Satu bulan? Memang ada apa Bang?” sahut Fiki.
“Abang kalian itu, kan, orangnya cuek banget. Dingin banget sama cewek. Mana ada cewek yang mau bertahan lama sama dia,” Fajar menjelaskan.
Fiki dan Hendri saling bertatapan.
“Apa yang kamu pikirkan, pasti sama dengan yang aku pikirkan!” tebak Fiki.
“Kalian berdua kenapa? Kok malah saling lihat-lihat begitu?” tanya Fajar, heran dengan sikap Fiki dan Hendri.
“Kebetulan banget ya, Bang. Di kampus, ada juga dosen yang dingin banget sama lawan jenis. Persis Abang Kei,” cerita Hendri. “Dan lucunya lagi, dosen itu kesayangan Fiki, Bang, haha.”
Tawa Hendri semakin pecah. Wajah Fiki memerah, malu.
“Waduh. Berani, ya, suka sama dosennya sendiri? Kompak banget kalian ini,” ucap Fajar.
“Abang Kei, ke sini dong. Kami mau bertanya. Ayo dong, Bang,” pinta Hendri.
Dengan wajah terpaksa, Kei pun mendekat dan memenuhi permintaan Hendri.
“Bang, apa benar yang Abang Fajar kata tadi?” tanya Hendri setelah Kei berada di sampingnya.
“Iya!” jawab Kei, pasrah.
Hendri, Fiki dan Fajar, kembali tertawa melihat tingkah Kei.
“Bang, kenapa sih? Enggak minat sama cewek? Abang normal, kan?” ejek Fiki.
“Astagfirullah, kok kamu ngomongnya begitu? Normal-lah!” sahut Kei, dongkol.
“Terus, kenapa Abang enggak suka dekat dengan cewek? Punya pengalaman pahitkah? Atau apa Bang?” tanya Hendri.
Kei bingung memulai kalimatnya.
“Ya begitu. Abang ini kan, anak bungsu. Punya dua kakak cewek. Punya kakak cewek itu bikin pusing. Maka-nya, dari situ, Abang merasa enggak nyaman dekat dengan cewek. Mereka cerewet, suka ngatur, dan Abang enggak suka diperlakukan kayak gitu.”
“Abang Kei memang aneh bin ajaib. Kok ada ya, manusia kayak gini?” canda Hendri, disertai tawa ketiganya. “Iya. Abang ini aneh. Cowok malah suka diperhatikan, Abang justru sebaliknya. Abang benar-benar aneh,” sambung Fiki.
“Ya inilah Abang. Kenyamanan masing-masing orang kan berbeda. Jadi ya, seperti inilah Abang!”
“Terus, mau jomlo seumur hidup?” tanya Fiki, kembali.
“Kalau waktunya sudah tiba, akan ada saja cara Allah mempertemukan, Fik,” jawab Kei, bijak.
“Abang Kei memang mantap sekali,” sahut Fajar, mengangkat jempol. “Ah kalian ini, yang dibahas, ceweeek terus. Payah!” lanjut Kei, sinis.
Fajar tertawa. “Memang beda ya, kalau yang punya perasaan dengan yang tidak punya perasaan,” ucap Fajar.
“Terserahlah kalian!” Kei kembali ke meja kerjanya.
“Jadi rencana kalian berdua setelah selesai, gimana?” tanya Fajar.
“Boleh enggak, kami berdua bantu-bantu Abang di sini?” sahut Hendri.
“Boleh sih, cuma ya itu. Usaha ini kan, masih begini-begini saja. Kalau kalian mau berjuang dari bawah?”
“Iya Bang, aku dan Fiki, sudah pikirkan masalah itu,” jawab Hendri.
"Oke, pintu Man Art terbuka lebar untuk kalian berdua."
"Terima kasih, Bang," senyum lebar Hendri, bahagia.
“Hen, aku balik ya?” pinta Fiki. “Kita bareng saja. Aku juga mau balik,” jawab Hendri.
“Bang, kami balik ya?” ucap Hendri ke Fajar. “Oke, hati-hati.”
“Bang Kei, kami pamit. Jangan melamun terus dong, Bang,” teriak Fiki, menggoda. “Kalian itu. Untung Abang ini, orang sabar dan ikhlas,” jawab Kei disertai tawa.
“Assalamu’alaykum,” ucap Fiki dan Hendri meninggalkan Man Art.