Beberapa saat di dapur, ibunda Aara kembali membawa beberapa makanan penutup ke meja makan. “Banyak banget makanannya, Tante?” tanya Citra.
“Iya, rencana mau dibawa ke rumah tantenya Aara.”
Citra tersenyum dan menoleh ke arah Aara, yang hanya diam tanpa semangat.
“Nak Citra, Tante mau bertanya?” Ibunda Aara tampak serius. Dia menatap fokus ke arah Citra. “Iya Tante?”
“Apa enggak ada, teman pria di kampus yang suka sama Aara?”
Mata Aara membelalak.
Citra terkekeh, tanpa suara. Berusaha menutupi mulutnya dengan tangan kanannya.
“Memangnya kenapa, Tante?”
“Aara kan sudah dua puluh tujuh tahun. Menurut Tante, sudah waktunya dia juga dekat dengan seseorang.”
Citra semakin tertawa, tanpa suara. Ekspresi tidak nyaman, justru hadir di wajah Aara.
“Sebenarnya sih banyak Tante, cuma Aara-nya yang jual mahal.”
Mata Aara menatap Citra, tajam. Sangat tidak suka.
“Kalau begitu, Tante minta tolong Citra ya? Siapa tahu, ada pria yang baik, bertanggung jawab yang cocok dengan Aara.”
“Siap, Tante!” jawab Citra, penuh semangat.
Aara menggelengkan kepala dan terdiam. Ibunya meninggalkan meja makan, menuju dapur.
“Kamu kenapa?” ujar Aara, sebal dengan sikap Citra.
Citra tertawa.
“Kamu yang kenapa?” tanya Citra kembali. “Kenapa kamu malah bersikap seperti itu, menanggapi ucapan ibu?”
“Ra, kamu kenapa sih, emosi terus?!”
“Aku enggak suka Cit, enggak suka!”
Citra menghela napas. “Oke, sebentar kita bahas ini setelah makan!”
“Oke!” sahut Aara, setuju.
Suasana berlanjut hening.
Tidak lama, Citra dan Aara menyelesaikan makan malam mereka.
“Bu, aku dan Citra ke kamar ya?” pinta Aara.
“Iya Nak,” jawab ibundanya.
Aara menarik tangan Citra menuju kamarnya.
“Aara, kamu kenapa sih? Aku curiga, kamu sebenarnya bukan umur dua puluh tujuh tahun. Tetapi, tujuh puluh dua tahun!” ujar Citra, sebal.
“Sudah deh!”
“Aara Malaika, kamu kenapa? Sekarang waktunya ngomong!” lanjut Citra.
Aara mengatur napas. “Kamu tahu kan, aku paling enggak suka kamu meladeni ucapan ibu masalah itu!”
“Tentang apa? Langsung saja deh!” ujar Citra. “Kamu enggak usah pura-pura tidak tahu! Paling suka menggoda aku masalah begini!”
“Aara. Enggak semua harus dihadapi dengan emosi, kan? Santai saja! Ibu juga kan, cuma nanya doang?”
“Tapi kalau kamu kasih tanggapan seperti itu, ibu nanti malah semakin berharap!”
Citra tertawa.
“Aara, sikap ibu, wajar. Dia kan juga ingin melihat anaknya seperti wanita-wanita di luar sana.”
“Tapi aku berbeda Cit, beda!”
“Oke, oke. Aku enggak mau berdebat! Aku tambah capai, ladeni kamu masalah begini!”
Ekspresi wajah Aara berubah.
“Aku sedih saja Cit. Kamu, ibu, lebih-lebih orang di luar sana, tidak ada satu pun yang paham kondisi hatiku.”
Citra terdiam.
“Aku selalu jujur padamu Cit. Aku selalu jujur, tentang apa pun. Apa yang aku suka, apa yang aku benci. Jadi ketika aku mengatakan sesuatu tidak aku sukai, berarti hal itu sangat menyakitkan bagiku, Citra! Ataukah hanya aku yang punya perasaan? Hanya aku yang merasakan sedih, berduka, atas semua kejadian yang silih berganti hadir di keluarga kami?”
“Ra—“
“Aku heran saja. Ibu seakan lupa, apa yang selalu kuucapkan padanya, saat dia menyinggung tentang pernikahan. Kamu pun sama!”
“Aara, tidak seperti itu….” Citra kehabisan kata.
“Aku juga tidak tahu, sampai kapan aku seperti ini. Kenyataan yang hadir selama ini, terasa cukup membuatku yakin, memilih sendiri!”
“Ra, kamu meragukan kuasa Allah?”
“Aku hanya meyakini apa yang kini nyata di hadapanku, Cit. Bisa kan, aku fokus ke hal-hal yang pasti?”