Lelaki Pilihan Surga

Jane Lestari
Chapter #6

Bagian 6

Setelah Rahmat pergi, Citra membuka perlahan, kado yang diberikan Rahmat.

Cokelat?

Citra tersenyum. Dia tidak menyangka, Rahmat akan memberikannya sebuah kado, cokelat, makanan kesukaannya.

Ditatapnya cokelat yang ada di tangannya. Makanan itu, jelas membuka kembali ingatannya, pada dia, yang pertama kali membuatnya jatuh cinta, pada cokelat.

“Hadiah dari kakak itu lagi?” tanya Salma.“Iya!”

Salma terkekeh. “Luar biasa perjuangannya ya, Cit. Apa sih isinya? Aku penasaran!”

“Ini, kamu saja yang buka!” ujar Citra, menyerahkan bungkusan kado yang ada di tangannya.

“Serius?”

“Iya!”

Salma dengan penuh semangat membuka kotak bersampul merah muda itu.

“Cokelat!” ujar Salma, tercengang.

“Iya, cokelat! Kenapa? Kamu kok kaget begitu?”

“Aku heran! Pertama, dia kasih bunga mawar merah. Sekarang, dia kasih cokelat. Apa dia tidak tahu, siapa yang dia kasih?”

Citra tersenyum, berbalik heran dengan ucapan Salma. “Maksud kamu apa, Sal?”

“Ya tidak cocok saja, Cit. Kok muslimah kayak kamu diberi bunga mawar, diberi cokelat. Ya, enggak nyambung saja!”

“Salma! Namanya pemberian, tugas kita hanya menerima. Jangan banyak protes! Itu namanya, tidak bersyukur!”

Astagfirullah. Aku salah lagi, ya?”

Citra kembali tersenyum.

“Oh ya. Bukannya kamu enggak suka makan cokelat?” lanjut Salma. “Iya sih. Tapi kali ini, bolehlah aku coba.”

Salma tertawa lebar. “Luar biasa, sempurna!”

“Kamu kenapa lagi?”

“Sekarang aku yakin, kakak senior itu, berhasil membuka gembok di hati seorang Citra Humairah!”

“Kok, kalimat kamu malah membuat aku tambah pusing?”

“Awalnya enggak suka makan cokelat. Sekarang, mau makan cokelat. Sempurna!”

“Sal, kamu, apa saja dibuat ribet!”

Salma terus tertawa. “Begini sahabatku, Citra yang sempur—”

“Sal, maaf. Boleh enggak kata sempurna dihilangkan. Aku enggak suka Sal. Itu berlebihan!”

“Oke kalau itu mau kamu. Begini, Ibu Citra. Kamu kenapa tiba-tiba mau makan cokelat?”

“Sal, sudah deh! Kok cokelat malah menjadi masalah?”

“Jawab saja!”

“Karena pengen saja, coba makan cokelat.”

“Kalau cokelatnya diberikan orang lain, apa kamu mau makan juga?”

Citra menghela napas.

“Siapa pun yang ngasih, pasti aku makan!”

“Oke.”

“Cuma itu?”

“Iya!”

Citra berbalik tertawa, melihat sikap sahabatnya itu. Tidak lama berselang, ekspresi wajah Citra berubah.

“Kok kamu malah bengong?” ujar Salma, melihat Citra, tampak melamun.

“Dia sudah berikan aku dua hadiah, Sal. Tapi aku masih belum tahu, maksud dua hadiah itu. Seperti biasa, dia hanya meletakkan di atas mejaku, dan bertulis namanya. Tanpa ada kalimat lain.”

Salma tercengung.

“Sejak aku menegurnya, saat memanggilku Cantik di perpustakaan, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Tapi dia memberikanku hadiah ini.”

Salma tersenyum. “Kamu kepikiran?”

“Ya, gimana enggak kepikiran? Aku merasa bersalah!”

“Aku tidak menyangka, kamu bakal berpikir seperti ini, Cit! Aku pikirnya kamu cuek seperti biasa.”

“Sal, aku hanya wanita biasa.”

“Jadi, kamu mau bagaimana? Mengembalikan hadiahnya?”

“Aku bingung, Sal!”

“Atau kamu mau bertemu dengan kakak ganteng itu?”

“Untuk apa?”

“Menyampaikan terima kasih atas hadiah yang sudah dia berikan sama kamu.”

“Apa enggak jadi masalah?”

“Kamu kan tadi bilang, enggak enak. Jadi untuk dibuat enak, ya ucapkan terima kasih! Kamu selalu bilang, kita harus menghargai setiap pemberian, kan?”

“Baiklah Sal. Semoga dengan cara ini, aku bisa jauh lebih tenang.”

InsyaaAllah Cit. Aku juga sebagai sahabatmu jadi tidak tenang, kalau kamu seperti ini.”

“Terima kasih, Sal.”

 Salma Maisarah, sahabatku yang paling cerewet di kelas. Tidak pernah bosan membuat sekitarnya menjadi riuh, dengan kehadiran-nya. Dengan candaan-nya, membuat kami selalu merasa bahagia, walaupun hanya berada di dalam kelas, saat jam istirahat.

Di setiap waktu dia selalu menemani, ke mana pun aku pergi. Dia selalu bisa kuandalkan, saat di kampus.

Terakhir kita bertemu, setahun yang lalu, ya Sal.

 

Assalamu’alaykum, Bu.”

Astagfirullah! Citra kaget. Suara seseorang, kembali membuatnya terjaga dari lamunan.

 

Wa’alaykumussalam, oh Hendri,” jawab Citra, tersenyum menyambut Hendri. “Duduk! Gimana Hen?” sambung Citra.

“Ini Bu, saya mau minta tanda tangan, untuk kelengkapan pendaftaran seminar saya pekan depan.”

“Mana berkasnya?”

Hendri menyerahkan berkas. Tanpa membaca, Citra langsung memberikan tanda tangannya. Dia tampak masih belum sepenuhnya fokus, setelah terbawa lamunan beberapa menit yang lalu.

Astagfirullah. Kenapa aku?

Lihat selengkapnya