Percakapan Citra dan Salma terhenti sejenak saat seorang pelanggan datang membawa pakaian yang siap dicuci. Salma melayani dengan ramah.
Setelah selesai, Salma kembali ke tempat duduknya sebelumnya. Dia melanjutkan, “Kamu sudah menghabiskan waktu terlalu lama seperti ini. Kita realistis saja! Ada Kak Rahmat yang sangat mencintai kamu. Dia bahkan rela menunggu kamu begitu lama. Apakah kamu tidak ingin mencoba, membuka hati untuk Kak Rahmat?”
“Sal! Itulah yang membuat perasaanku semakin tidak nyaman selama ini. Aku selalu meminta petunjuk sama Allah. Aku mohon diberi pertanda, agar aku bisa memilih jalan yang benar. Tapi, semakin ke sini, aku malah semakin meragu!”
“Jadi, bagaimana sikap Kak Rahmat sekarang?”
“Aku meminta waktu lagi setahun, dan dia siap menunggu!”
“Ya Allah. Dia benar-benar mencintaimu, Cit!”
“Iya, aku tahu!”
“Jadi, setelah setahun?”
“InsyaaAllah aku akan menerima Kak Rahmat!”
“Tapi, jika dalam setahun, kamu bertemu si Cantik itu?”
“Salma!” Lagi, Citra dongkol dengan kata Cantik.
“Ya, kamu jawab saja! Ini pertanyaan aku Cit, aku serius!”
“Sal, jangan buat aku malah semakin meragu,” ungkap Citra, kembali gundah.
“Rumit banget ya, perasaan kamu! Ada yang mencintai kamu, kamu malah menunggu seseorang yang tidak pasti. Bahkan dia, mungkin bersama orang lain sekarang!”
“Iya Sal, tetapi itu semua masih kemungkinan.”
Salma tertawa.
“Kamu benar-benar jatuh cinta, gara-gara bunga mawar merah dan cokelat!”
“Sal?”
“Iya?”
“Tadi, aku melihat seseorang, matanya mirip banget dengan mata kak Man!”
“Kamu lihat di mana?”
“Seorang mahasiswaku naik motor, di jemput abang-nya. Mata abang-nya itu persis mata kak Man!”
“Kamu enggak lihat wajahnya?”
“Dia pakai masker, Sal!”
Salma menarik napas.
“Cit, kali ini aku yakin itu hanya halusinasi kamu saja. Kamu tahu kan, kak Man itu tidak mungkin naik motor. Sejak kuliah, dia sudah pakai mobil ke kampus.”
“Entahlah Sal. Iya, mungkin ini hanya pengaruh pikiranku saja.”
Salma menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat keadaan sahabatnya kini. Yang benar-benar berubah, sejak tidak lagi bertemu, dengan kakak senior mereka itu.
“Tapi, kenapa dia tiba-tiba menghilang tanpa kalimat apa pun, Sal?”
“Ya Allah, Citra. Sudahlah, cukup!”
Salma memeluk sahabatnya itu.
Dia merasakan Citra sudah terlalu larut dengan suasana hatinya saat ini. Dia tidak lagi seperti Citra Humairah, yang cuek, yang tidak pernah memikirkan masalah cinta.
Ya Allah, beginikah namanya jatuh cinta? Salma membatin.
Senyap beberapa saat.
“Sal, aku salat magrib di sini ya?” ujar Citra, setelah melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul enam sore.
Tak lama kemudian, azan berkumandang dari masjid.
Salma mengajak Citra masuk ke dalam rumah, bersegera menunaikan salat bersama.
Hari yang begitu melelahkan untuk Citra.
Setelah menyelesaikan salat, Citra pamit.
Sesuai janjinya, dia langsung menuju warung soto Mas Tomo, makan malam bersama Aara.
Beberapa menit kemudian.
“Aara?!” Citra terkejut, Aara sudah lebih dahulu berada di warung Mas Tomo.
“Kok terkejut begitu?”
“Bukannya kamu bilang, mau mengantar ibu dulu ke rumah? Kok malah duluan di sini?”
“Ibu menginap di rumah tante Dewi.”