Perbincangan ke dua sahabat itu tak jua mendapati akhirnya. Jika keduanya sudah larut dalam diskusi yang akhirnya menjadi perdebatan, tidak akan ada ujungnya jika Citra tidak mengalah.
“Cit, banyak orang yang melakukan suatu hal, tidak lantas menjadikan hal itu, paling benar, kan?” kembali, sanggahan Aara.
Lagi, Citra menghela napas. Aara, tidak pernah kehabisan jawaban.
“Prinsip aku Cit, mampu itu adalah ketika kita melakukan sesuatu sesuai kesanggupan. Apa yang benar-benar melekat, dan kita miliki. Dan pastinya, tidak menambah beban hidup yang baru.”
“Bahasa kamu terlalu ribet untuk bisa aku pahami Ra,” kalimat Citra mulai lemah. Lelah, sangat lelah menghadapi sahabatnya itu.
“Kalau aku cicil rumah, aku harus kredit, berutang. Bukankah itu sudah berarti aku tidak mampu, tetapi memaksakan mampu? Bukannya kelapangan yang aku dapatkan, justru hidupku menjadi lebih sempit, dengan cicilan kredit yang tidak sedikit setiap bulan. Akhirnya, aku sibuk mencari uang, hanya untuk bayar cicilan rumah.”
“Ya Allah, pikiranku ini selalu kacau balau, saat diskusi dengan kamu!”
Aara kembali tersenyum.
“Cit, mampu atau tidak mampu, yang bisa menakar itu adalah diri kita masing-masing. Cicilan rumah itu bisa sampai sepuluh atau lima belas tahun. Luar biasa panjang. Apakah kamu yakin, akan hidup selama itu?”
“Ra, kita kan juga harus berjuang di dunia, seperti akan hidup selamanya.”
“Ya, kamu betul sekali! Dan, berjuang demi akhirat, seakan kita akan mati esok hari. Iya kan?”
Citra menyeringai. “Ckck, kamu betul-betul menggemaskan Aara Malaika!”
“Aku takut Cit, aku akan fokus pada dunia, sehingga aku lalai mempersiapkan akhirat. Saat ini, aku hanya ingin membangun rumah terbaik di surga firdaus, untuk ibu.
"Karena aku hanya mampu itu. Aku hanya bisa berbisnis dengan Allah melalui sedekah, sedikit demi sedikit. Aku tidak mampu berbisnis dengan lembaga perbankan dan developer perumahan,” jelas Aara.
“Jadi setiap tahun, kamu akan terus berpindah-pindah, saat kontrakan kamu habis?” sambung Citra.
“Jika menurut Allah, itu yang terbaik. Dan membuat aku layak mendapat jatah kavling rumah di surga, no problem!”
Aara menjawab dengan senyuman lebar.
“Aara, aku merasa tersinggung kamu tersenyum seperti itu!”
Aara terkekeh, melihat sikap Citra yang akhirnya menyerah.
“Cit, aku selalu percaya, selama aku menjadikan Allah sebagai prioritas, tidak ada yang perlu aku ragukan. Berbisnis dengan-Nya, aku yakin, malah membuat duniaku menjadi lebih sempurna. Bukan kekayaan dan harta yang kita miliki, yang membuat hidup jadi lebih tenang Cit, tetapi keyakinan pada-Nya.”
Citra terpaku. Tidak ada lagi jawaban. Percakapan yang panjang akhirnya berakhir. Keduanya beristirahat.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, Citra dan Aara, akhirnya terlelap dalam tidur.
***
“Malam ini dingin banget,” ucap Citra. Dia bangun, mencari jaket yang dia simpan di dalam tas. Dia menoleh ke arah kanan.
Tercengang!
“Jam dua! Aara ke mana?” Dia berdiri dan mengambil jaket. Dengan rasa kantuk yang masih menguasai, dia berjalan ke luar kamar, mencari keberadaan Aara.
Kembali, kaget. Citra melambatkan langkah, menuju sumber suara, seseorang yang tengah mengaji, di ruang depan.
“Aara?” tutur Citra.
Air matanya tiba-tiba menetes, tanpa aba-aba.
Hatinya sungguh terusik dengan apa yang dilihatnya. Dia tidak pernah menyangka, kehidupan rohani sahabatnya itu, ternyata sangat sempurna. Terakhir dia menginap di rumah Aara, enam bulan yang lalu. Namun, kehidupan Aara masih seperti dirinya. Sekarang, sahabatnya itu benar-benar berubah.
Citra merasa malu dengan dirinya sendiri. Saat semua orang terlelap dalam mimpi, menikmati tidur, Aara justru duduk di atas sajadah, melantunkan ayat-ayat Allah.
Air mata Citra semakin deras.
Ya Allah, aku benar-benar malu! Nikmat-Mu selama ini, ternyata, belum cukup aku syukuri.
Citra kembali ke kamar. Dia melepas jaket, dan masuk ke dalam kamar mandi mengambil wudhu.