Beberapa jam berlalu, Aara dan Citra, terlihat sudah menyelesaikan kelas mereka hari ini. Mereka tampak bercakap serius di ruangan dosen.
“Kamu kenapa Ra?” tanya Citra mendampati ekspresi wajah Aara tidak bersemangat. “Mahasiswa di kelas IIb, hampir seluruhnya tidak menyelesaikan tugas hari ini,” ucap Aara, kecewa.
“Memangnya ada apa?”
“Alasannya, tugasnya terlalu sulit. Alasan yang enggak bisa diterima, sama sekali!”
Citra terkekeh. “Ya salah kamu juga. Kamu pasti memberikan tugas di luar kemampuan mereka. Kamu kan, kebiasaannya begitu.”
“Begini Cit, dengan tantangan, mereka akan bisa jauh lebih kreatif, dan akan terus berkembang!” .
“Iya, benar. Tapi, tidak semua mahasiswa itu, sama! Ada yang rajin, ada yang cuek, malah ada yang tidak peduli. Jadi, kita yang harus menyesuaikan diri, dan menerima proses dari mereka.”
“Mahasiswa zaman sekarang ya, beda banget dengan zaman kita dulu. Dosen masuk ke kelas, masih sempatnya ngobrol tentang film korea yang lagi hits itu. Bagaimana mau berkembang, jika mereka selalu saja larut, dalam hiburan yang hanya menyajikan halusinasi tingkat dewa? Akal sehat mereka, perlahan, mati!”
Citra tersenyum. “Risiko perkembangan teknologi Ra. Dan inilah salah satu tugas kita, mengembalikan mereka pada jalurnya. Memang kamu enggak suka, menonton film korea?” lanjut Citra.
“Aku?” tanya Aara, heran.
Citra mengangguk.
“InsyaaAllah tidak akan Cit. Bagiku, waktu itu sangat berharga. Sebelum aku memutuskan menikmati sesuatu, aku selalu mempertimbangkan manfaatnya. Apakah akan menambah pahalaku, atau tidak? Aku merasa rugi, habis waktu, malah dapat dosa. Kalau tiba-tiba meninggal? Jangan sampai deh!”
“Aku sepakat Ra!” sahut Citra.
Mati aku! Padahal aku suka banget.
“Kita hidup di dunia, tidak ada waktu untuk bercanda dan main-main. Karena Allah tidak pernah bercanda,” lanjut Aara.
Citra mengangguk. Dia selalu kagum dengan retorika Aara, yang selalu meyakinkan.
Di tengah percakapan keduanya, tiba-tiba sosok Hendri melintas di depan ruangan.
“Hen?” panggil Citra. “Ada apa?” tanya Aara.
Citra tidak menjawab. Dia fokus pada Hendri, yang berjalan ke arahnya. “Hen, saya mau bertanya.”
“Iya, Bu.”
“Hen, yang mengantar kamu tadi itu, siapa?”
“Itu abang saya, Bu.”
“Yang menjemput kamu juga tempo hari?”
“Iya, Bu. Saya hanya punya satu abang, abang Fajar.”
Citra mengatur napas, dia tersentak.
“Ibu, enggak apa-apa?” tanya Hendri.
“Iya! Abang kamu kerja di mana?” lanjut Citra. “Dia punya usaha sendiri Bu, bisnis Design Grafis.”
Sekali lagi, Citra kaget dengan jawaban Hendri.
“Kamu bisa kasih alamatnya ke Ibu?”
“Untuk apa Bu?”
“Ibu kebetulan mau bisnis, butuh bantuan untuk desain logo dan beberapa keperluan lainnya.”
“Iya, Bu.”
Hendri mengambil kertas dan bolpoin di tasnya. Dia kemudian menulis alamat kantor abangnya, sesuai permintaan Citra. “Ini Bu.”
“Terima kasih ya. Kamu boleh pergi!”
“Baik, Bu.”
Hendri pun berlalu.
“Ada apa, Cit?” tanya Aara, melihat Citra yang tiba-tiba berubah dengan kedatangan Hendri.
“Nanti aku jelaskan. Kamu sudah selesai kan? Enggak ada jadwal lagi?”
“Iya, sudah.”
“Ayo.”
“Mau ke mana?”
Citra menunjuk kertas yang diberikan Hendri. Dia bergegas, diikuti Aara. Dalam perjalanan, Aara masih penasaran dengan sikap Citra.