Dalam perjalanan pulang, Aara dan Citra mencipta hening. Aara sekali-kali menoleh ke arah Citra, namun dilihatnya, sahabatnya itu masih terlihat sangat sedih.
“Cit….”
“Iya,” jawab Citra, pelan. “Aku mau bertanya, aku masih bingung!”
“Iya.”
“Kamu dulu pernah cerita tentang kakak senior kamu, yang kamu sebut kak Man. Tapi, tadi Hendri sebut abangnya itu Fajar?”
“Kak Man itu, Fajar Bimantara!”
“Oh gitu.” Aara mengangguk.
“Dulu, saat kuliah, kak Man itu sedikit nakal, jarang masuk kuliah. Makanya teman-temannya memanggil kak Man. Kata mereka, nama Fajar, enggak cocok dengan perilakunya saat itu. Jadi kami, juniornya, ikut mengenal beliau sebagai kak Man,” jawab Citra, yang terlihat sudah lebih baik.
“Kita singgah di soto Mas Tomo? Kamu mau?” pinta Aara.
“Boleh.”
Suasana kembali senyap.
Citra terus menatap lurus ke depan. Dia tampak terus berpikir, matanya bahkan tak berkedip. Melamun.
“Cit, kita sudah sampai,” ungkap Aara.
Mereka berdua turun dari kendaraan. Masuk ke dalam warung soto Mas Tomo. Sore ini, warung itu tampak sepi.
“Aku pesan makanan ya?” tanya Aara.
“Aku kenyang Ra. Aku temani kamu saja!”
“Oke,” jawab Aara, tidak memaksakan.
Dia tahu, kondisi hati Citra sedang tidak baik-baik saja. Aara memesan semangkuk soto ayam kesukannya.
“Ra?”
“Iya, Cit?”
“Aku harus bagaimana sekarang?”
Aara menghela napas. Dia sebenarnya bingung, membawa dirinya masuk ke dalam persoalan hati Citra. Karena dia tidak pernah merasakan di posisi yang sama.
Apa yang harus aku katakan?Astagfirullah.
“Lima tahun ini, aku terus menunggu penjelasan sikap kak Man, meninggalkanku begitu saja. Dan sekarang, penjelasan itu sudah kudapatkan. Apa yang harus aku lakukan sekarang?”
“Cit, kita sudah dekat selama satu tahun ini. Aku menjadi saksi, bagaimana Pak Restu terus berusaha menaklukkan hatimu. Belum lagi Kak Rahmat, yang sempat kamu ceritakan itu. Tapi, kamu terus bergeming dari mereka semua. Kamu terus bertahan menunggu yang hatimu inginkan. Sebagai sahabat, aku hanya ingin kamu bahagia. Dan kamu, yang paling tahu, kebahagiaan kamu itu di mana!”
Citra terpaku.
“Masa depan, tidak pernah ada yang tahu. Kita semua yakin akan itu. Jadi, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah memilih kebahagiaan untuk diri kita sendiri. Selebihnya, biar takdir yang bermain,” lanjut Aara.
“Aku kini justru kehilangan tujuan Ra.”
“Cit—“
“Mbak, pesanannya,” ucap Mas Tomo, memotong ucapan Aara. “Terima kasih, Mas,” jawab Aara.
Mas Tomo berbalik, dan kembali ke dapur.
“Cit, aku mau ingatkan saja. Selama lima tahun, kamu menunggu hari ini. Kamu sudah dapat kejelasan, dan semua sesuai dengan keinginan kamu. Sesuai keyakinanmu, kak Man, atau kak Fajar, belum menikah. Kalau kamu mengatakan kehilangan tujuan, untuk apa kamu menunggu sampai hari ini, sampai lima tahun?”
Hening.
Aara melanjutkan, menyantap Soto yang sedari tadi ada di hadapannya.
“Cit, tadi kamu sudah dengar kan, alasan kak Man pergi saat itu? Dia merasa tidak pantas untuk kamu. Jadi sebenarnya, itu membuktikan bahwa, dia pergi, bukan karena tidak ada lagi rasa. Semua kembali ke kamu, sekarang.”
Citra masih saja diam.
“Jika kamu merasa yakin akan berbahagia jika bersama kak Man, kenapa tidak kamu perjuangkan?”
“Tapi aku wanita, Ra!”
“Jadi, wanita tidak pantas berjuang, untuk mendapatkan kebahagiannya sendiri?”
“Aku merasa malu, jika aku yang harus berjuang. Sedangkan aku wanita. Wanita kan, pada umumnya, hanya menunggu!”
Aara tersenyum.
“Kali ini, aku tidak sependapat sama kamu! Yang kamu perjuangkan itu adalah kebahagaian kamu! Bukan kebahagiaan orang lain! Jika kamu saja, pantang, memperjuangkan kebahagiaanmu sendiri, siapa yang kamu harapkan? Sedangkan semua orang, fokus pada kebahagiaannya masing-masing?”
“Tapi aku wanita Ra!”
“Jadi wanita itu diciptakan, hanya untuk pasrah menerima takdir?”