Lelaki Pilihan Surga

Jane Lestari
Chapter #12

Bagian 12

Hendri begitu tersentuh dengan ucapan Kei. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak pernah menyangka, abangnya, begitu sangat menyayanginya.

“Abang Fajar sadar, dibanding dengan kehidupan Citra, mereka ibarat langit dan bumi. Yang tidak akan pernah bisa menyatu,” lanjut Kei.

“Jadi, tadi kedatangan ibu Citra, ada keperluan apa Bang?” tanya Fiki, kembali.

“Hari ini pertama kalinya, sejak lima tahun yang lalu, setelah abang Fajar pergi tanpa pesan. Mereka baru bertemu kembali.”

“Apakah karena alasan abang Fajar, ibu Citra masih menutup diri dengan semua pria yang mendekatinya, Bang? Demikian pula dengan abang Fajar?” Fiki terus meneror Kei dengan pertanyaannya, tanpa henti.

Ehm, mungkin seperti itu!” jawab Kei, tidak yakin. “Tangisan ibu Citra jelas menyimpan banyak makna Bang. Mata sendu abang Fajar pun sama. Fiki merasa masih ada cinta di antara keduanya.”

Kei menghela napas dan mengembuskannya.

“Kalau itu, Abang Kei, tidak bisa menjawab.”

Senyap.

Fiki menghadap ke arah Hendri.

“Hen, sudah. Aku paham bagaimana perasaannmu saat ini. Kamu ingat, aku sempat mengalami patah hati yang sama? Saat ibu Aara, mengucap kalimat pahit padaku saat itu? Terluka itu baik, jika kita menerimanya, jauh lebih awal. Sembuhnya pun akan lebih cepat. Jadi, mulai sekarang, sudahi harapan itu. Oke Hen?”         

Aara? tanya Kei dalam diamnya.

“Perjalanan kita masih panjang, Hen,” lanjut Fiki. “Iya!” jawab Hendri dengan senyuman, berusaha ikhlas.

Perjalanan takdir tidak pernah bisa dikendalikan. Semuanya sepenuhnya ada dalam genggaman Sang Pemilik Kehidupan.

Beberapa saat kemudian, Fajar sudah kembali. Bersama ekspresi wajah, yang jauh lebih baik dibanding sebelumnya.

“Fiki dan Hendri sudah balik?” tanya Fajar kepada Kei, setelah tidak mendapati keberadaan ke dua pria tadi. “Iya, sekitar tiga puluh menit yang lalu.”

Tanpa menanggapi ucapan Kei, Fajar menuju ke meja kerjanya.

“Jar, kamu sudah lebih baik?”

“Iya, alhamdulillah.”

Alhamdulillah,” ujar Kei, lega.

Jeda.

Bersama keheningan yang tercipta antara Kei dan Fajar, sore pun berlalu. Diiringi berkumandangnya azan magrib, matahari pun berlalu dan kembali ke peraduannya.

Setelah melaksanakan salat berjamaah di masjid dekat kantor, tampak sikap Fajar sudah berangsur cair. “Kei, balik nanti, kita mampir di tempat Mas Tomo, ya?”

“Boleh. Sudah lama juga kita enggak ke sana. Aku juga sudah kangen banget dengan soto kuah kuningnya itu.”

Fajar tersenyum. “Segitu kangennya ya?”

“Iya, asli, kangen berat.”

Suasana akrab keduanya, tiba-tiba terusik dengan suara mobil yang berhenti tepat, di depan kantor mereka.

“Siapa Kei? Kamu punya janji?”

“Enggak?”

“Kita kan udah mau balik?”

“Iya. Enggak apa-apa. Siapa tahu proyek besar,” sahut Kei.

Seorang pria melangkah menuju pintu masuk. Tanpa salam, beliau mendorong pintu.

“Om Harun!” ucap Kei, menatap ke Fajar. Kei menundukkan pandangan dan memegang dahi.

“Hai anak muda, apa kabar?” sapa pria itu. “Alhamdulillah baik, Om,” jawab Kei, berusaha ramah.

“Apa kabar Om Harun?” tanya Fajar, mengulurkan tangan. “Kabar Om, pasti selalu baik! Alhamdulillah.”

Alhamdulillah,” sambung Fajar, tersenyum.

Pria itu, langsung duduk di atas meja kerja Kei. “Bagaimana perkembangan bisnis kalian ini?” ujarnya.

Alhamdulillah baik, Om,” jawab Kei. “Baik, gimana?”

Kei dan Fajar kembali saling berpandangan.

“Sekarang, omzet kalian sebulan, berapa?”

Kedua sahabat itu, terpaku.

“Kok, malah diam? Atau begini. Mana laporan keuangan kalian. Om mau lihat!”

Fajar berbisik, “Bagaimana?”

Kei mengangguk.

Lihat selengkapnya