Hari berlanjut seperti biasa, Aara dan Citra, kembali mengajar di kelas pertama.
Sejak pukul tujuh, mereka sudah kelihatan berada di kampus.
“Ra?” sapa Citra. “Iya Neng, ada apa?”
“Gimana semalam?”
Aara terkekeh, tiba-tiba.
“Kok malah tertawa?” tanya Citra, heran.
“Cit, ini masih pagi. Bisa enggak, kita bahas yang lain yang lebih segar?”
Citra cemberut.
“Oke, oke. Ehm, luar biasa, cinta bisa mengalahkan segalanya,” ujar Aara, terus mengusik sahabatnya itu.
Citra masih terdiam.
“Aku sudah bertemu kak Fajar semalam.”
“Serius?” tanya Citra, ekspresi wajahnya berubah cerah, sumringah.
Aara tercengang, dia menggelangkan kepala. “Sabar, sabar. Kamu kok jadi begini sih Cit? Bukan banget, Citra Humairah!”
“Ra,” tutur Citra, memelas. “Oke, aku paham.”
Citra tersenyum, bahagia.
“Tunggu ya, aku ingat kembali percakapanku dengan kak Fajar semalam. Kok aku lupa ya?” senyum Aara, mengejek.
Citra kembali diam, wajah kesal. Dia merasa kurang nyaman, Aara terus saja mengganggunya.
“Sudah, sorry. Kamu jangan marah begitu, please!” tutur Aara, merasa bersalah.
“Oke!” sahut Citra, singkat. “Kamu yakin akan menunggu kak Fajar? Sampai dia benar-benar yakin, dia pantas untuk kamu?”
“Kalau kak Fajar mau berjuang, insyaaAllah aku siap!” jawab Citra, penuh semangat.
“Oke, seperti itulah ceritanya. Intinya sekarang, kalian berproses. Kak Fajar akan mamantaskan diri dulu, kamu menunggu. Tapi, aku enggak bisa sebutkan, jangka waktunya. Bisa lima tahun, sepuluh tahun,” ungkap Aara, tersenyum.
“Kok lama banget?”
“Katanya mau menunggu?”
“Enggak selama itu juga kan, Ra?”
“Enggak tahu! Namanya proses, kan, kita tidak pernah tahu. Hasil akhir, Allah yang menentukan.”
Citra kembali terdiam.
“Kok, malah cemberut lagi? Begini, manusia hanya bisa berusaha, Allah yang menentukan. Jadi, untuk saat ini, kamu dekati Allah dan bujuklah Dia. Oke?”
“Bantu aku ya, Ra?”
“InsyaaAllah. Pasti!”
Citra memeluk Aara, erat. Begitu bahagia. Akhirnya dia bisa menemukan kejelasan, atas harapannya yang sekian lama dalam ketidakpastian.
“Ra? Apa kamu tidak pernah berpikir, untuk membantu tante Sinta mengembangkan bisnis katering-nya?” lanjut Citra. “Haha, kok tiba-tiba ganti topik?”
“Aku serius, Ra!”
“Ehm, belum pernah. Karena aku lihat selama ini, bisnis ibu lancar-lancar saja.”
“Aku lihat, bisnis katering tante Sinta cukup berkembang. Aku saja, sangat menyukai masakan beliau. Begini, maksud aku, bagaimana kalau kita membantu tante Sinta di bidang pemasaran. Membantu mengenalkan produk beliau?’
“Ide bagus, Cit. Tapi caranya, bagaimana?”
“Melalui pemasaran di media sosial!”
Aara tampak berpikir.
“Kamu enggak usah banyak mikir. Kita cari partner, yang bisa mengelola penjualan dan pemasaran di media sosial. Tante Sinta cukup fokus menyediakan produknya. Nanti kamu bisa manfaatkan keberadaan Ira, untuk membantu pengirimannya.”
“Ide kamu keren, Cit. Aku enggak pernah terpikir itu.”
“Iya, kamu kan orangnya begitu. Hanya fokus, kampuuuuus terus!”
Aara terkekeh.
“Kalau sudah banyak pelanggan, tante Sinta bisa nambah karyawan,” sambung Citra. “Wow, keren banget ide kamu. Tersusun rapi. Terstruktur!”
“Iya dong, Citra Humairah!” sahut Citra, tertawa, membanggakan diri.
“Tunggu dulu Cit. Terus, yang membantu di media sosial, siapa? Aku dan kamu kan, sudah tidak mungkin. Kita punya tugas utama, yang butuh prioritas.”
“Itu sudah aku pikirkan!”
“Siapa?”