Jeda beberapa saat. Kei melanjutkan, “Pertama kita bertemu dengan dia, bersama Citra di sini. Ke dua, di warung Mas Tomo. Tidak ada yang istimewa darinya. Yang aku lihat, hanya seorang wanita tanpa senyum, cuek. Tapi, dia berbeda di video tadi, Jar,” tutur Kei.
“Berbeda?”
“Saat berbicara, dia terlihat sangat istimewa. Dia cerdas, punya aura positif. Dan senyumannya itu, enggak tahu, tiba-tiba membuat jantungku, berdegup kencang. Aku seakan tidak bosan melihatnya terus berbicara, terus tersenyum. Senyumannya itu sungguh memesona, Jar,” lanjut Kei. Wajahnya merona, tampak jelas akar cinta mulai menemukan jalan.
“MasyaaAllah, aku bahagia mendengarnya Kei. Ternyata kamu juga normal!” ujar Fajar, diiringi tawa.
Tanpa jawaban, Kei melempar pensil yang ada di dekatnya. Dongkol dengan ucapan Fajar. “Emangnya kamu pikir?!”
Fajar terkekeh. “Intinya aku bahagia Kei, kalau kamu bisa merasakan jatuh cinta. Agar aku juga bisa melihat kegilaanmu!”
“Aku enggak sama dengan kamu! Aku tidak akan pernah jadi gila, karena cinta!”
“Oke!” jawab Fajar, tetap dengan tawanya.
“Kamu jangan cerita ke Fiki dan Hendri ya?” pinta Kei. “Kenapa?”
“Aku malu, Jar.”
Fajar kembali tertawa.
“Ya Allah, kamu juga bisa merasa malu ya? Kamu benar-benar aneh hari ini. Bukan banget Keenan Ramadhan, yang selama ini aku kenal!”
Kei belum sempat menjawab, Fiki sudah kembali. Kei menghentikan percakapannya dengan Fajar. Dia kembali fokus ke laptop Fiki.
“Bang, laptopnya sudah bagus?” tanya Fiki. “Iya, ini sudah selesai,” sahut Kei.
Kei menyerahkan laptop tersebut, tetapi pandangannya terus melekat pada benda itu. Seakan dia tidak ingin melepasnya. Dan Fajar bisa mengerti sikap Kei itu.
“Fiki, boleh Abang pinjam laptop kamu?” pinta Fajar. “Boleh Bang.”
“Sebentar saja kok.”
Fajar membuka laptop Fiki, dan terlihat menyalin sesuatu ke dalam flashdisk-nya.
“Ini, sudah selesai!”
“Sebentar banget Bang?”
“Iya! Makasih Fik.”
Laptop pun kembali ke Fiki. Fajar berjalan ke meja Kei, dan meletakkan flashdisk tadi di atas keyboard Kei.
Kei tersenyum dan berbisik, “Terima kasih.”
“Oke!” jawab Fajar dan dia kembali ke tempatnya.
Kei kembali asyik dengan headset-nya. Fajar tersenyum. Semua kembali fokus ke pekerjaan.
“Iya, Mas?” sapa Fiki, pada seseorang yang membuka pintu. “Ada yang bisa kami bantu?” lanjut Fiki.
Tampak seorang pria dengan penampilan sempurna, body goal. Berkumis tipis dan rambut tertata rapi.
“Maaf, saya mencari Keenan?” ujar pria itu.
“Oh iya.” Fajar menunjuk ke arah Kei, yang terlihat masih serius di depan komputernya. Tak sadar, sedang ada tamu yang mencarinya.
“Silahkan duduk,” tutur Fajar, ramah.
“Abang Kei!” Fiki memecah keseriusan Kei.
Kei melepas headsetnya dan menoleh ke arah pria yang mencarinya.
Haikal!
“Assalamu’alaykum, Kei,” tutur pria itu, ramah pada Kei.
“Wa’alaykumussalam!” jawab Kei, cuek. “Apa kabar?”
“Baik! Kamu kapan tiba?” tanya Kei.
“Kemarin!”
“Kamu ada keperluan apa?”
“Kei, Kei. Kamu selalu saja sinis seperti ini. Enggah berubah sama sekali,” sambung Haikal.
Fajar dan Fiki saling menatap. Mereka tampak penasaran, sosok yang ada di hadapan mereka.
“Inilah aku!” Kei masih saja menunjukkan sikap tak ramah. Dia seakan menunjukkan ketidaknyamannya, dengan kehadiran Haikal.
“Apa salah, kalau aku jalan-jalan ke kantor saudaraku yang keren ini?”
Kei tidak menjawab.
Fiki memecah suasana dingin, dengan membawa dua gelas kopi.
“Terima kasih,” ucap Haikal pada Fiki.