Kei berusaha menenangkan diri. Dia sangat gugup.
Citra lantas memberikan gambaran tentang rencananya. Aara hanya terpaku, menyimak setiap kalimat Citra yang begitu bersemangat.
“Oke Cit. Saya sudah paham. Tapi untuk memudahkan mengisi content, saya butuh penjelasan lebih lanjut dari pemilik usaha. Sehingga ciri khas dan keunggulan bisnis ini bisa digambarkan secara utuh.”
“Boleh Kak. Pemiliknya itu adalah ibu-nya Aara. Kak Kei main saja ke rumah Aara. Agar bisa langsung bertemu dengan tante Sinta.”
“Cit?!” ucap Aara, kaget. “Iya, ini kan bagian dari rencana kita. Mengembangkan bisnis ibu kamu. Sudah deh, serahkan ke aku. Oke?”
Aara menggelangkan kepala. Kembali, menarik napas.
“Kak Kei kapan ada waktu? Biar langsung, kami antar bertemu tante Sinta?” lanjut Citra.
Dari jauh, tampak Fajar dan Fiki terus tersenyum dan mengangguk memberikan kode ke Kei.
“Sekarang!” bisik Fajar.
“Sekarang aku free, Cit,” jawab Kei.
“Yes, yes,” ujar Fajar, tanpa suara, mengepalkan tangan.
“Hebat banget abang kamu. Pergerakannya, mantap, secepat kilat!” ucap Fajar. “Iya Bang,” jawab Fiki.
Aara menyeringai. Dia tidak habis pikir.
Ketiganya pun bersegera meninggalkan Man Art.
“Kak Kei, enggak mau ikut bareng kami?” tawar Citra. “Saya bawa kendaraan saja. Nanti jadi repot baliknya.”
“Oke, Kak. Kita bertemu di sana ya? Kak Kei sudah tahu alamatnya, kan?”
“Iya, ini sudah dapat.”
“Oke Kak.”
Ketiganya meninggalkan Man Art. Ke dua wanita mengawali perjalanan, disusul Kei dengan sepeda motor.
Kondisi Aara tampak belum berubah. Suasana hatinya masih belum bisa menyatu dengan keadaan yang terjadi saat ini.
“Ra, sudah deh! Kalau kamu seperti ini, kulit wajah kamu itu kelihatan lebih tua!” sebut Citra, menggoda Aara. “Kamu tuh ya. Enggak mau dengar pendapat aku!”
“Bukan begitu. Masalahnya, kalau aku dengarin kamu, yang ada rencananya enggak bakal jadi.”
“Ini juga, ngapain bawa kak Kei ke rumah? Kan bisa bicara lewat telepon!”
“Ra, akan beda, kalau tante Sinta dan kak Kei bertemu secara langsung. Semua akan lebih jelas!” alibi Citra. “Aku takutnya, ibu nanti mikirnya macam-macam."
Citra tersenyum.
“Masalahnya, aku enggak pernah bawa cowok ke rumah. Ha, Citra, Citra, rona-rona akan terjadi masalah baru nih!”
Citra tertawa. “Kamu ya. Selalu saja, pikiran negatif.”
Aara terdiam.
Akhirnya mereka tiba di rumah Aara setelah melalui perjalanan singkat dari Man Art.
Beberapa menit kemudian.
“Kak Kei, basah kuyup? Memang enggak bawa jas hujan Kak?” Citra panik melihat sekujur tubuh Kei basah. “Iya Cit. Tadi jas hujannya tertinggal di kantor.”
“Kenapa enggak berteduh dulu Kak? Ini kan, jadinya, pakaian Kak Kei, basah semua.”
“Enggak enak kalau aku telat sampai ke sini. Kan udah janji, Cit?”
“Tunggu di sini ya Kak. Aku carikan dulu pakaian ganti untuk Kak Kei. Nanti malah sakit.”
“Enggak usah Cit. Sebentar kok, pasti udah kering.”
Citra berlalu, tanpa menjawab ucapan Kei.
“Ra, kamu punya enggak sarung atau apalah? Yang bisa kak Kei pinjam dulu, sambil mengeringkan pakainnya. Kasihan. Dia basah kuyup, hanya untuk bisa sampai di sini tepat waktu.”
“Cit, kamu tahu kan, di rumah ini kami semua perempuan. Enggak ada laki-laki, jadi enggak ada pakaian laki-laki!” ungkap Aara, semakin tidak peduli.
“Nak, bukannya ada celana panjang dan kemeja, yang kamu beli kemarin? Rencana untuk kado suami tante Dewi. Tapi batal kamu kasih karena kekecilan. Kayaknya cocok deh, untuk calon menantu ibu, itu?” sela ibu Sinta.
Ibu! Calon menantu! Aara terkejut. Dia tiba-tiba merasa pusing.
Citra terkekeh.
“Astagfirullah,” sebut Aara, menenangkan diri. “Cit, apa yang aku duga. Terjadi!” ujar Aara, semakin khawatir.
“Santai aja. Nanti kan, tinggal di jelaskan!”
Dengan terpaksa, Aara berlalu menuju kamar. Dia mengambil pakaian yang dimaksud ibunya. Sesaat kemudian, Aara sudah kembali dengan sehelai sarung dan sebuah kemeja berwarna biru.