Waktu terus bergulir. Memasuki bulan pertama, bisnis katering ibunda Aara diperkenalkan melalui media sosial.
“Gimana perkembangan katering ibunda Aara, Kei?” tanya Fajar. “Alhamdulillah, perkembangannya pesat sekali. Sekarang followernya sudah masuk lima ribu akun.”
“Wow, hebat banget. Baru sebulan dimulai, sudah punya pengikut sebanyak itu.”
“Alhamdulillah. Ini berkat bantuan Hendri dan Fiki juga. Mereka yang selalu memberikan respons cepat di instagram.”
“Ternyata, inilah hikmah, Hendri dan Fiki bergabung dengan kita di sini. Perlahan, kantor ini mulai beranjak. Semoga hari esok semakin baik dan lebih baik,” harap Fajar.
“Amin. Pelanggan untuk desain feed instagram bagaimana?” tanya Kei.
“Alhamdulillah, sampai saat ini sudah sepuluh akun yang kita kelola. Lima di pegang Fiki dan sisanya oleh Hendri.”
“Adik-adik kita itu memang berbakat. Walaupun saat kuliah, enggak pernah belajar tentang desain, mereka bisa belajar sendiri, sangat cepat,” ujar Kei, bersyukur.
“InsyaaAllah proses ini akan membuat kita semakin bersyukur. Selalu ada hikmah dan rahasia Allah atas setiap pertemuan. Sejak kita mengelola feed instagram katering ibunda Aara, pesanan desain feed instagram, semakin meningkat,” ungkap Fajar, sangat bahagia atas progress Man Art yang sangat baik.
“Itulah rahasia Allah. Skenario terbaik, yang tidak akan pernah bisa di tebak alurnya,” tutup Kei.
Kei tiba-tiba terpaku.
“Kei, kita tinggalkan dulu masalah bisnis. Aku sejak kemarin ingin bertanya masalah ini,” sambung Fajar. “Iya, masalah apa?”
“Aku lihat beberapa hari ini kamu banyak diam. Ada masalah?” tanya Fajar.
“Jar, jiwaku benar-benar dalam masalah,” ungkap Kei. “Ha? Jiwamu bermasalah? Harus ke rumah sakit jiwa dong,” canda Fajar.
“Jar, Aku serius!”
“Aku juga serius! Kamu bilang, jiwamu bermasalah, kan?”
“Tapi maksudnya bukan itu!”
“Ehm. Kalau aku boleh tebak, ini tentang Aara?”
“Iya,” jawab Kei, tak semangat.
Fajar menggeleng. “Hari ini, kalau enggak salah ingat, sudah tiga bulan, setelah pertama kali, kita bertemu Aara, kan?”
“Tiga bulan, dua puluh lima hari!” sahut Kei, tanpa ekspresi.
“Wow. Luar biasa. Ini kah namanya jatuh cinta?” Fajar terkekeh. “Kei, kamu benar-benar jatuh hati?” sambung Fajar.
“Jar, hatiku benar-benar gelisah. Aku tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Aku tidak pernah galau, gara-gara wanita. Aku tidak pernah tertarik memikirkan mereka. Tapi, Aara, terus saja hadir, bahkan dalam mimpiku,” ungkap Kei.
“Ckck. Wah, bahaya nih!”
“Maksud kamu apa?”
“Apakah ini kegilaan yang begitu kamu hindari selama ini?”
Kei terdiam.
Fajar kembali tertawa. “Akhirnya, si pemilik hati dingin dan sombong, kalah juga.”
Kei tidak terpancing dengan kalimat Fajar. Dia benar-benar berubah. Bukan Kei, yang selalu menolak kata cinta, kata wanita.
Kamu jatuh cinta, Kei, batin Fajar.
“Aku selalu berdoa memohon ketenangan, tetapi masih saja. Aku tidak bisa menghindar dari semua pikiran tentangnya, Jar. Aku harus bagaimana?” lanjut Kei, galau.
“Sudah salat istikharah?”
“Sudah!”
“Hasilnya?”
“Semakin sering ingat tentang dia.”
“Oke. Jelas. Bisa saja, Aara wanita yang dikirim, untuk mencairkan hatimu yang beku selama ini,” ucap Fajar. “Aku harus bagaimana, Jar?”
“Kalau kamu sudah siap, lamar saja!”
“Jar? Tidak mungkinlah, aku langsung melamar. Setidaknya, aku bisa ngobrol dengan Aara dulu."