Setiap kalimat Citra semakin memojokkan Fajar.
“Kak, yang Citra butuh, hanya keberanian Kak Fajar. Citra juga tidak punya lagi alasan untuk menolak setiap lamaran yang datang. Citra merasa bersalah pada papa dan mama,” lanjut Citra.
“Cit. Saya tidak tahu harus menjelaskan apa lagi. Karena kamu lihat, kondisi kami masih sama. Saya sulit menemukan kalimat, agar bisa membuatmu paham, Dik.”
“Kak Fajar serius kan, sama Citra?”
“Iya.”
“Ya itu. Citra hanya ingin bukti dari kata serius itu! Citra hanya minta, Kak Fajar datang menemui kedua orang tua Citra.”
Lagi, Fajar menghela napas panjang. Dia kehabisan kata menjelaskan kondisinya.
“Tapi tidak semudah itu Dik,” ungkap Fajar, suaranya bergetar.
“Bulan depan, saya sudah janji, Kak Fajar akan datang menemui orangtua Citra. Semua sekarang tergantung Kak Fajar.”
“Tapi Cit—“
“Kami pamit Kak. Assalamu’alaykum.”
“Wa’alaykumussalam,” jawab Fajar.
Fajar terpaku melihat langkah Citra menjauh. Sorot mata yang nyata menampung ribuan harapan. Jutaan mimpi, yang mungkin hanya sebatas mimpi.
Fajar merenung. Keyakinannya menuju titik nadir.
“Jar?” suara Kei, membuat Fajar terjaga. “Kamu kenapa? Kamu menangis?” tanya Kei.
“Saat takdir mengumumkan kehendak-Nya, apalah daya kita sebagai manusia. Cinta itu datang begitu saja, tanpa kuminta. Apakah aku harus memaksanya pergi sekarang?” ucap Fajar, kehilangan harapan.
“Tentang Citra?”
“Citra dilamar. Dia mengharuskanku menemui orangtuanya dalam satu bulan ini, sebagai bukti, jika aku serius dengannya.”
“Terus, masalahnya apa?”
“Kei, harga diri seorang pria itu, ada pada kemapanan. Jika aku datang dengan keadaan seperti ini, aku semakin mempertegas kedudukanku sendiri. Bahwa aku tidak punya harga diri, tidak punya rasa malu!”
“Jar. Bukankah cinta bisa menembus berbagai jenis sekat. Cinta tidak pernah memilih, kamu harus mapan, kamu harus mampu. Cinta itu dari hati, dari sebuah ketulusan. Jauh dari standar dunia.”
“Ini seperti karma yang menghukumku!”
Fajar menyeringai. Dia mengingat semua dosa dan kesalahannya di masa lalu.
“Aku berfoya-foya menghabiskan uang orangtuaku untuk bermain dengan banyak perempuan. Bersama mereka di dunia malam. Mabuk, dan begitu banyak dosa lainnya. Dan kini, saat aku benar-benar kembali ke jalan-Nya, kehidupan memperjelas kedudukanku yang sebenarnya,” cerita Fajar.
“Sesungguhnya di hadapan Allah, pembeda kita hanyalah pada tingkat takwa, Jar. Semua punya masa lalu. Namun, kamu sekarang pada kehidupan yang berbeda. Fajar Bimantara, pria baik, taat, dan pekerja keras. Kamu jangan selalu merendahkan dirimu sendiri,” bela Kei.
“Tapi, itu tidak cukup Kei, untuk aku mampu berdiri dihadapan kedua orangtua Citra. Satu-satunya wanita yang bertahta lama, menjadi penghias doa-doaku, di setiap sujudku, bertahun-tahun.”
Bulir-bulir air mata, semakin jelas menghiasi.
“InsyaaAllah. Selagi kita menjaga harapan, terus berusaha, semua akan berakhir indah, Fajar,” ucap Kei, terus memberi harapan.
“Tapi, apa yang bisa kulakukan dalam sebulan ini? Lima tahun saja, kita belum bisa berbuat apa pun. Satu bulan?”
“Tugas kita hanya berusaha dan Allah yang memutuskan. Terus berdoa Jar. InsyaaAllah, jika Citra adalah cinta sehidup sesurgamu, akan ada skenario indah Allah, mewujudkannya.”
“Amin.”
Fajar menenangkan diri, menjernihkan pikirannya.
Suasana menjadi senyap sesaat.
“Kei?” suara Fajar, memecah keheningan. “Kamu dari mana?”
“Jalan-jalan ke masjid,” jawab Kei. “Ngapain?”
“Ngobrol dengan ustad Hari.”
“Tumben?”
“Ehm, minta pendapat tentang Aara.”
Fajar tertawa. “Oh ya, sejak kapan kamu bisa ngomong banyak tentang cinta, tentang perasaan?”
Kei tersenyum.
“Kamu berubah banget, Kei. Aku bahagia. Kamu tak lagi menakutkan, dengan wajah serius nan penuh persoalan,” ujar Fajar, sambil tertawa.
“Semua bisa berubah Jar, apalagi masalah hati,” ungkap Kei.
Fajar kembali terkekeh.
“MasyaaAllah. Aara, kamu benar-benar bidadari dari surga. Kei-ku tidak lagi emosi bicara tentang hati, tentang wanita,” tutur Fajar.