Lelaki Pilihan Surga

Jane Lestari
Chapter #18

Bagian 18

Fajar terus membatin. Dia berharap Kei segera muncul, agar Susan tidak semakin membuatnya stres, dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum dia mampu jawab.

“Jar, ayo!” suara Kei, melegakan Fajar.

Alhamdulillah.

Susan berdiri dan berlalu.

“Kak Susan kenapa? Dia ngomong apa?” tanya Kei.

Astagfirullah. Aku merasa jantungku akan copot. Gara-gara kamu!” ungkap Fajar. “Ada apa?”

“Bisa enggak, kamu jatuh cinta, enggak usah repotin orang lain?”

“Apa sih?”

“Ibu kamu, kak Susan, semua bertanya. Kei jatuh cinta ya?” sebut Fajar, dongkol. “Itulah yang kadang membuat aku risih. Belum apa-apa sudah pada ribut begini!” ujar Kei.

“Bagaimana tidak ribut? Ini seperti hujan deras, yang tiba-tiba hadir setelah musim kemarau yang panjang.”

“Maaf ya Jar,” tutur Kei. “Aku bahagia kok, Kei. Kamu bahagia, aku pun bahagia.”

“Terima kasih,” jawab Kei, tersenyum.

Keduanya meninggalkan rumah Kei, kembali ke kantor.

***

Kampus

Tampak Aara dan Citra, sedang berbicara serius, di ruangan meeting yang saat ini tidak digunakan. Ruangan, yang sering mereka gunakan di jam istirahat.

“Ra, kamu kenapa? Ada masalah lagi, di kelas kamu?”

“Bukan itu. Ini, kamu baca sendiri!” Aara menyerahkan ponselnya ke Citra.

Citra, terkesiap. Dia menarik napas.

Astagfirullah al adzim, batinnya, sambil menatap Aara.

Aara tersenyum, sinis. “Kamu lihat, sekarang!”

Citra terpaku.

“Entah, bagaimana lagi aku bisa menjabarkan semua kenyataan ini. Kamu lihat, kan?”

Citra masih terdiam. Dia tidak punya kalimat, menjawab Aara.

“Lagi dan lagi! Ya Allah, apakah keluarga ini memang tidak punya jatah bahagia? Tidak punya jatah, mendapatkan satu laki-laki yang normal?”

“Aara…,” ujar Citra, memulai kalimatnya.

“Kamu tidak tahu, aku tampak biasa-biasa saja mendengar kabar pernikahan tante Dewi. Tapi, hati ini sangat terluka, Cit. Sangat! Mengapa harus kami, lagi dan lagi?” 

Aara menyeringai. “Kamu hanya diam?!”

Citra benar-benar kehilangan kata. Sebagai manusia biasa, dia pun merasakan, kesedihan yang begitu dalam, yang dirasakan oleh Aara.

“Sekarang, kamu tahu kan, alasan aku tidak datang di acara pernikahan tante Dewi? Ini, alasannya! Mungkin, semua orang menilaiku jelek. Tapi aku tidak peduli lagi dengan penilaian orang lain.

"Saat tidak ada yang memedulikan pendapatku, aku hanya bisa mengucap, alhamdulillah. Karena aku sudah cukup, melakukan tugasku sebagai bagian dari keluarga ini. Dan lagi, aku membuktikan, hanya aku yang punya pikiran normal di keluarga ini!”

“Ra, sudah! Setiap manusia dilahirkan beserta takdir masing-masing. Dan semua telah diberi jatah kebahagiaan dan kesedihan yang sama besarnya,” ucap Citra, berusaha menenangkan Aara.

“Bagus sekali teori kamu, Cit. Iya, cocok sekali! Iya, cocok bagi mereka yang sudah banyak bahagia. Kami? Beberapa generasi, terus saja dihujani takdir yang sama.

"Terus, kamu akan bilang, aku tetap harus tenang dan bersabar? Ya Allah, Tuhanku. Berapa banyak jatah kegagalan lagi, yang akan Engkau timpakan pada kami?” keluh Aara.

“Aara, istigfar!!” Citra tidak bisa lagi diam, mendengar semua kalimat tidak pantas yang Aara ucapkan.

“Sedih sekali hati ini ya Rabb. Tante Dewi, baru menikah di usia empat puluh lima tahun. Tapi, lagi-lagi takdir membuatnya harus merasakan hal yang sama. Hal yang sama, yang sudah dirasakan ke dua kakaknya. Astagfirullah.” Aara menghela napas. Sesak itu sangat terasa dari kata yang terucap olehnya.

“Ibuku sendiri, ditambah ke dua adiknya, harus merasakan kegagalan pernikahan. Ya Allah, masih butuh berapa kegagalan lagi, sehingga kehidupan normal itu layak bagi kami?" ungkap Aara, penuh emosi.

Mata Citra, berkaca-kaca. Dia ikut terjebak dalam cerita kehidupan keluarga yang begitu rumit. Dia selalu berharap bisa memberikan semangat, namun terkadang dia pun kehabisan kata, menjawab seluruh ungkapan hati Aara.

“Ra, memang apa masalah tante Dewi dengan om Denni? Baru empat bulan!”

Aara menghela napas.

“Masalah? Astagfirullah. Aku bahkan tidak merasa alasan ini adalah pemikiran dari seorang yang dewasa. Jadi, aku merasa, bahwa keluarga ini seakan diwajibkan gagal. Sehingga akan hadir berbagai alasan, yang sangat tidak masuk akal, hanya untuk menciptakan kegagalan!”

Astagfirullah, Aara! Kamu jangan suka berucap seperti itu!” Citra mulai terusik dengan sikap emosional Aara yang tidak mampu dikendalikannya.

“Ampuni aku ya Allah, aku hanya manusia biasa,” tutur Aara, pasrah.

“Alasan ini benar-benar alasan tidak masuk akal! Kamu tahu, om Denni memutuskan berpisah dari tante Dewi, alasannya, karena dia minder!” jelas Aara.

“Minder?” tanya Citra.

“Dia minder, karena jabatan tante Dewi lebih tinggi!”

Astagfirullah.”

“Heran aku! Bukannya sebelum menikah, om Denni sudah tahu kesibukan tante Dewi, pekerjaannya. Kok, malah di belakang, baru mempersoalkan hal ini.

Lihat selengkapnya