Warung soto Mas Tomo, pukul delapan malam.
“Boleh saya bertanya, Kak?” ujar Aara memulai percakapan. “Iya, silakan!” jawab Kei.
“Kak Kei, sudah punya modal apa, untuk taaruf?”
Citra membuka mata lebar-lebar menatap Aara. Dia terkejut, dengan pertanyaan Aara. Fajar dan Kei pun demikian, mereka saling bertatapan.
“Maksud Aara?” tanya Kei, memperjelas.
“Begini Kak! Saya coba sederhanakan. Taaruf bagi saya itu, ibarat ujian naik kelas. Jika ujian berhasil, maka saya akan naik kelas. Demikian pula dengan taaruf.
"Jika taaruf berhasil, maka saya akan memutuskan ke jenjang pernikahan. Jadi, untuk menghadapi ujian, jelas saya harus mempersiapkan diri, sehingga bisa naik kelas. Kak Kei bisa paham, maksud saya?”
“Iya Ra, aku paham.”
Kei, Kei. Aku sudah peringatkan kamu. Wanita ini, akan membuatmu, jera! batin Fajar.
Ya Allah, mengapa Aara demikian memperumit cerita ini? pikir Citra.
“Jadi, bagaimana Kak? Apakah Kak Kei sudah punya persiapan?” lanjut Aara. “Saya mohon maaf. Apakah Aara bisa jelaskan, persiapan apa yang Aara maksud?” sambung Kei, memastikan.
Citra dan Fajar tampak gelisah, dengan percakapan kedua sahabatnya yang sangat serius, mengkhawatirkan.
Malam ini, rencananya Kei ingin mengenal lebih dekat Aara. Namun, tidak semudah yang dia bayangkan. Yang dia hadapi, adalah wanita yang sangat dingin hatinya.
“Oke, Kak. Taaruf adalah rangkaian awal dari proses, dengan tujuan pernikahan. Kak Kei setuju dengan definisi ini?”
“Iya, saya setuju.”
“Taaruf adalah proses saya menemukan imam terbaik, kepala keluarga terbaik, untuk pernikahan saya kelak, se-hidup, se-surga!”
Kei mengangguk.
Ya Allah, Aara mengapa kamu sangat bertele-tele. Aku bisa jantungan kalau seperti ini! batin Citra.
“Imam terbaik, salah satunya adalah menjadi imam salat. Imam salat adalah seseorang yang memiliki pengetahuan agama yang baik, hafalan yang cukup, dan lebih baik dari makmum. Iya kan, Kak?”
“Iya!” jawab Kei, singkat. Wajahnya mulai menunjukkan kekhawatiran.
Astagfirullah, Kei. Mampus kamu! Fajar, menyeringai.
“Saat ini, alhamdulillah hafalan saya, sudah selesai di juz tiga puluh Kak. Tiga puluh tujuh surah, alhamdulillah. Jadi, untuk jadi imam saya, Kak Kei harus punya hafalan yang lebih bagus, dan lebih banyak. Iya kan, Kak?”
Wajah Kei, pucat. Jangankan tiga puluh surah, dua puluh surah pun, seingatnya, belum.
Fajar, tersenyum. Dia terlihat tidak lagi khawatir, justru menikmati sikap Kei. Pria yang selama ini begitu sombong dengan wanita, sekarang benar-benar mati kutu.
“Ra, kamu jangan berlebihan begitu!” bisik Citra. “Ini harus! Dia berani berharap, berani menerima risiko. Iya kan?” Lagi, Aara tidak pernah punya cela.
Citra menarik napas. Dia sekarang merasa bersalah. Karena pertemuan ini adalah permintaanya pada Aara dan sebelumnya Aara sudah menolak. Tapi deminya, Aara mengalah.
“Bagaimana Kak Kei?” Aara mengulang pertanyaannya.
“Belum semua, di juz tiga puluh, Ra,” jawab Kei, pelan. “Oke, jadi sudah jelas ya Kak?”
Kei bingung, maksud ucapan Aara. “Maksudnya?”
“Jika untuk hal penting ini, Kak Kei belum siap, untuk apa kita lanjut? Karena jelas akan gagal!”
Kei masih terpaku dalam kebingungannya.
“Aara menikah untuk jadi makmum, bukan jadi imam. Aara tidak ingin mempermalukan suami Aara, dihadapan Allah!” lanjut Aara. Belum sempat Kei menjawab, Aara pamit.
“Kami pamit ya Kak. Kita lanjut, jika Kak Kei sudah siap!”
“Assalamu’alaykum,” ucap Aara, seraya menarik tangan Citra.
“Wa’alaykumussalam,” jawab Fajar dan Kei, serentak.