Percakapan Citra dan Sinta, ibunda Aara berlanjut.
“Tante tahu banyak ya tentang kak Kei?” sambung Citra. “Kei sudah beberapa kali datang ke sini.”
“Kei sering datang menemui Tante?”
“Iya, tetapi kamu jangan bilang ke Aara. Nanti dia emosi lagi.”
“Siap, Tante. Terus gimana Tante?”
“Sebenarnya setiap Kei ke sini, dia datang untuk mengambil gambar hasil masakan Tante. Katanya sebagai bahan untuk promosi.”
“Jadi hanya mengambil gambar?” tanya Citra, penasaran.
“Enggak juga. Tante sering ngobrol. Dia sering membantu Tante membersihkan alat-alat masak di dapur. Karena biasa, Ira harus ke kampus. Jadinya Tante harus mengurus sendiri.”
Citra tertawa. “Wah, hebat banget ya, kak Kei, Tante. Sudah sampai ke dapur saja.”
“Kan namanya membantu Tante. Terus, dia bantu Tante membawa semua pesanan ke tempat pelanggan.”
“Cocok deh Tante. Kalau Tante sudah memberi restu, apa lagi?”
“Kamu kan tahu, Aara itu tidak seperti kamu. Kalau Aara tahu, akan terjadi perang dingin lagi.”
Citra terkekeh. “Memang Aara sejak dahulu seperti ini ya Tante? Tidak pernah dekat dengan laki-laki?”
“Iya, seperti inilah Aara. Tante paham, dia trauma. Tapi, hidup harus terus berjalan. Mau tidak mau, kita harus terus menjalani takdir.”
“Iya sih Tante. Citra setuju. Tapi, bagaimana ya, supaya bisa menaklukkan hati Aara?”
“Aara itu sensitif. Dia bisa luluh dengan ketulusan dan perhatian,” jelas Sinta. “Ehm. Gitu ya Tante? Bolehlah nanti di coba.”
“Bantu Aara ya Nak Citra?” pinta Sinta. “Iya Tante. InsyaaAllah.”
Setelah menyelesaikan makan malam, Citra menyusul Aara ke kamar.
“Sudah makannya?” tanya Aara. “Sudah!”
“Kenyang?”
Citra tergelak. “Kamu ada apa? Kok nyindir? Marah lagi? Karena ibu bahas tentang kak Kei?”
Aara diam.
“Ra, tante Sinta, kayaknya suka sama kak Kei.”
“Terus?”
“Ya, berarti jalurnya sudah terbuka.”
“Kalau begitu, ibu saja yang nikah dengan kak Kei!”
Citra terkekeh. “Aara, Aara. Kenapa sih, kamu selalu sensitif kalau masalah cowok? Enggak capai?”
“Inilah kebahagiaanku Cit!”
“Ra, kebahagiaan itu pasti akan dirasakan juga oleh orang lain. Definisi bahagia kamu itu, keliru!”
“Tapi inilah aku!”
Citra tersenyum dan menggelengkan kepala.
“Aku penasaran, kak Kei lagi ngapain ya? Pasti matanya tidak bisa terpejam malam ini. Pilihannya terlalu berat.”
Aara tidak merespons. Dia sibuk membaca buku.
Aku mungkin belum terlalu lama mengenalmu Ra. Tapi satu hal yang aku yakini saat ini.
Aku percaya, ada setitik harapan untuk kak Kei, di hati kamu. Ini bukan pertama kalinya, seseorang ingin berkenalan denganmu. Namun, ini orang pertama, yang mampu menghangatkan hatimu yang beku selama ini, Citra membatin.
Kejadian hari ini, pertemuan bersama Kei, bukan pertama kali untuk Aara. Dia memang unik, berbeda. Beberapa pria unik, juga telah berkali-kali berjuang melunakkan hatinya yang keras. Tapi, ya, hatinya benar-benar membatu.
“Kamu ada apa senyum-senyum begitu? Ada yang salah?” tanya Aara. “Enggak. Aara Malaika, kamu tuh cantik banget, Ra.”
“Ehm, ada apa ini?”
“Serius Ra!” ungkap Citra, duduk di depan Aara.
Aara tidak menjawab. Lagi-lagi, dia kembali fokus ke buku yang dipegangnya.
Citra tersenyum.