Setelah salat berjamaah, tampak Fajar dan Kei duduk bersama seorang pria berjubah putih, lengkap dengan kopiah putih.
“Bang, kami mau ngobrol, bisa?” tanya Fajar. “Boleh,” jawab Hari, mempersilahkan Kei dan Fajar, duduk tepat di hadapannya.
“Ada apa ini?” tanya Hari, tersenyum. “Kei, sehat-sehat saja kan? Wajahnya pucat sekali.”
“Alhamdulillah baik kok, Bang,” sahut Kei.
“Begini Bang, kami mau konsultasi sedikit nih. Tentang masalah Kei,” Fajar melanjutkan kalimatnya. “Masih masalah yang tempo hari?” tebak Hari.
“Iya Bang,” jawab Fajar. “Memang ada apa?”
“Ini Bang. Kei gelisah, galau. Dia bingung harus memulai dari mana,” ucap Fajar. “Galaunya kenapa? Bukannya sudah yakin, akan melanjutkan ikhtiarnya?”
“Iya Bang. Aku bingung. Aku merasa enggak mampu, enggak sanggup,” ungkap Kei, suaranya pelan.
Hari tersenyum. “Sudah salat istikharah, kan?”
“Iya, Bang.”
“Petunjuk dari Allah, sudah ditemukan?”
“Iya!”
“Terus, kenapa masih ragu?”
Kei terpaku.
“Jujur, beberapa tahun kita kenal, saya baru pertama kali ini melihat kamu seperti ini Kei,” ujar Hari.
“Iya, Bang. Pikiran kita sama. Aku seperti bersama orang lain, bukan bersama seorang pria tangguh. Pria yang selama ini selalu tampil percaya diri dan pantang menunduk!” sambung Fajar.
Hari kembali tersenyum. “Kei, apa yang membuatmu meragu?”
“Aku merasa tidak mampu, Bang,” jawab Kei.
“Oke. Saya merasa perlu tahu dulu, siapa sih wanita beruntung itu? Yang bisa membuat hati seorang Keenan Ramadhan, segalau ini?”
“Namanya Aara Malaika, Bang,” sebut Fajar.
Hari, tercengang. “Aara Malaika, dosen Matematika, di UM?”
“Abang kenal?” tanya Fajar.
Hari tertawa. “Dunia memang begitu sempit. Iya, Abang kenal dengan beliau.”
Giliran Fajar dan Kei, terkesiap. “Kenal di mana Bang?”
“Kami sama-sama dari UM. Dia dua angkatan, setelah angkatan saya. Kenalnya di Organisasi Mahasiswa Islam.”
“Jadi, Abang tahu, tentang Aara?” tanya Kei, penasaran. “Ya, lumayan tahu.”
Hari tersenyum, tampak sesuatu sedang terlintas di benaknya.
“Kei, kamu mau lanjut, atau saya yang lanjut?” sambungnya, terkekeh. “Maksud Abang?” tanya Kei, heran.
“Tahu enggak, Aara Malaika, pernah menolak proposal taaruf Abang.”
Fajar dan Kei, tercengang. “Abang serius?” tanya Fajar. “Sangat serius!”
“Kalau Abang saja ditolak, gimana dengan Kei?” ujar Fajar, tertawa.
Kei semakin tertekan.
“Begini Jar. Ada yang berbeda. Saya dan dua orang teman saat itu, langsung ditolak, tanpa ada penjelasan. Sedangkan Kei, diberi kesempatan. Jadi kesimpulannya, sebenarnya Kei sudah dapat lampu hijau, dibanding saya saat itu.”
“Bagaimana pendapat Abang tentang Aara?” ucap Fajar. “Kalau dari saya, saya yang pernah di tolak, Kei harus lanjutkan. Kamu tidak akan menyesal memperjuangkannya.”
Kei, masih saja terpaku.
“Cerita dong Bang, saat kuliah dulu,” pinta Fajar.
“Aara itu sangat cerdas. Hampir tidak ada yang bisa membantah pernyataannya. Setiap keputusannya, ada dasarnya. Setiap kalimatnya, bisa dia pertanggungjawabkan. Dia seorang wanita yang perfectionis.”
“Apa yang membuat Abang saat itu, tertarik untuk taaruf dengan Aara?” lanjut Fajar.
“Kamu tahu Jar, sosok wanita sempurna, bidadari surga, ada pada Aara,” jelas Hari. “Bukannya Aara itu cuek, dingin dengan lawan jenis. Bahkan kadang terlihat sombong?” sambung Fajar.
“Iya, kamu benar. Tapi kalau dari kacamataku, disitulah istimewanya dia. Kalian berdua, pernah mendengar, seorang ilmuwan bernama Al Khawarizmi?”
“Pakar matematika, yang menemukan angka nol?” tebak Fajar.
“Ya, seorang ilmuwan muslim, yang dikenal sebagai bapak matematika. Beliau pernah ditanya tentang wanita terbaik. Kebetulan kita membahas tentang Aara Malaika, maka saya akan coba gambarkan dia, sesuai jawaban Al Khawarizmi.”
Kei dan Fajar, fokus menyimak.