Es kopi yang dihidangkan Fajar, habis tak bersisa di gelas Haikal.
“Oke! Kamu sudah duduk, es kopi pun sudah selesai kamu nikmati. Sekarang, jawab pertanyaan aku tadi!” ucap Kei, masih dikuasai amarah.
“Kei, Kei. Keenan Ramadhan. Kamu selalu bermasalah dengan kesabaran ya?” sahut Haikal.
Kei tidak merespons.
“Oke! Kemarin aku ke rumah bertemu tante Mirna dan om Musa.”
“Kamu mau apa lagi?” tanya Kei, dongkol.
“Santai dong! Kamu jangan selalu emosi. Ini salah satu kelemahan kamu, Kei. Emosional, terlalu egois, sombong!”
Fajar menatap Kei. Dia khawatir, emosi Kei akan terpancing dengan semua ucapan Haikal.
Astagfirullah, batin Kei.
Kei menghela napas. “Oke! Silahkan, kamu sampaikan apa kepentinganmu datang ke sini?”
Fajar tersenyum. Dia lega. Kei bisa mengendalikan emosi.
Emosi yang bertahun-tahun, kadang tidak bisa dia kontrol. Emosi yang selalu siap menampar, siapa pun.
“Kei. Aku saudaramu. Belajarlah sedikit, menurunkan egomu. Kamu tidak akan pernah bisa hidup sendiri. Cobalah sedikit menoleh. Melihat harapan tante Mirna dan om Musa. Juga, harapan kak Susan.”
Kei, diam.
“Kemarin, aku baru tahu, bahwa suami kak Susan bekerja di salah satu cabang perusahaan kami. Dia salah satu orang kepercayaan papa.
“Tapi, ada kalimat om Musa yang sedikit mengusikku. Aku bertahun-tahun membangun citra positif. Menjadi pria yang bertanggung jawab. Sukses dan mencintai keluarga. Tapi, aku tiba-tiba terhempas oleh kalimat om Musa.
“Dia kecewa padaku. Karena, dengan kesuksesanku membangun bisnis, aku malah membiarkanmu terus terkungkung dalam bisnis yang tidak punya masa depan ini.”
Kei, menghela napas.
Lagi-lagi, ucapan Haikal selalu saja menancapkan luka yang begitu dalam. Harga dirinya sebagai seorang laki-laki, selalu tidak bernilai di hadapan Haikal.
“Ayolah Kei. Kami sedang banyak proyek. Aku sejak lama sudah menyiapkan posisi terbaik untukmu, dengan Fajar juga. Sekalian dengan kedua anak muda, yang baru bergabung dengan kalian itu.”
Kei tetap bergeming.
Fajar merasa serba salah. Dia bingung.
“Aku enggak terima saja, disebut saudara yang tidak peduli. Tidak peka. Padahal, selama ini, aku dan papa sudah berjuang meyakinkan kamu. Tapi, kamu yang terus keras kepala. Dan begitu sombong dengan kemampuan yang kau miliki.”
“Cukup! Sekali lagi dan untuk terakhir kalinya. Jawaban saya sama! Saya tidak akan pernah bergabung dengan perusahaan kamu! Jelas, kan?”
“Oke! Kita buktikan. Yang aku yakinkan padamu Kei. Suatu saat, kamu akan datang, mengemis bekerja di perusahaanku. Dan saat itu, saya akan mengatakan, nikmati hasil kesombonganmu!”
Kei diam dan Haikal pun berlalu. Dia meninggalkan kantor Man Art.
“Astagfirullah. Aku heran. Mengapa mereka tidak pernah berhenti, mengusik pilihan hidupku?”
Fajar terpaku.
Hening.
“Kei,” ucap Fajar. “Iya, Jar?”
“Ada yang mau aku sampaikan.”
Kei mengangguk.
“Beberapa pelanggan kita untuk desain feed instagram, membatalkan pesanan mereka.”