Sejenak hening. Pembahasan tentang keluarga, tak pernah menjadi topik yang mudah, bagi siapa pun yang memiliki perjalanan tak sempurna.
“Saat aku meninggalkan rumah, aku meninggalkan kamarku dalam keadaan berantakan. Aku masih ingat pesan ibu. 'Kamu belajarlah bertindak lebih dewasa, Nak. Belajar merapikan kamarmu sendiri. Karena suatu saat nanti, kamu akan hidup sendiri, tanpa ibu'. Dan ternyata kalimat ibu, benar-benar terjadi.
“Ya Allah, semoga Engkau mengampuni segala dosa-dosaku,” ujar Fajar dikuasai penyesalan.
“Saat kamu kehilangan segalanya, barulah semua akan terasa. Bahwa kamu tidak punya apa-apa. Kamu hanya seorang manusia bodoh, yang selama ini terus menyombongkan diri, dengan semua harta titipan Tuhan.
“Kei, kamu masih punya ibu dan ayah. Berbaktilah pada mereka. Karena mereka adalah hartamu yang paling berharga. Jangan biarkan, dirimu tumbuh dengan penyesalan sepertiku. Sungguh, itu berat dan sangat menyesakkan, Kei.
“Tidak ada sesak yang begitu melebihi, penyesalanmu akan dosa di masa lalu. Penyesalan, mengabaikan mereka yang selalu ada untukmu.”
Kei mengangguk, matanya berkaca-kaca.
“Aku kehilangan ibu dan ayah, saat aku belum bisa melakukan apa pun untuk mereka, Kei,” tutur Fajar, suaranya semakin serak. Dia menghapus bulir-bulir air mata, yang melekat di pipinya.
“Sekarang, aku benar-benar sendiri. Tidak punya apa-apa. Dan bagaimana pun caranya, aku harus menjalaninya dengan sabar. Karena inilah hasil dari semua yang kutanam di masa lalu. Kehilangan cinta, mungkin menjadi bagian dari hukumanku.”
Perihal cinta, selalu menjadi satu hal yang rumit.
Fajar mengakhiri curahan hatinya. Kei kembali ke mejanya.
Keduanya kembali sibuk menyelesaikan pekerjaan yang sempat terhenti.
Menit berganti, beberapa jam berlalu.
“Jar, ini sudah jam lima sore. Kamu benar-benar tidak ke rumah Citra?”
Fajar menggeleng, tersenyum, pasrah.
Ponselnya di saat yang sama, kembali berdering. Dibukanya perlahan dan didapatinya, pesan perpisahan.
Citra : Terima kasih Kak. Hari ini ternyata semua menjadi lebih jelas. Bahwa, saya akan bersama orang lain. Saya doakan yang terbaik untuk Kak Fajar. Semoga bahagia, dan menemukan wanita terbaik.
Fajar menghela napas. Sesak itu, seketika menyerangnya. Sedih, tetapi inilah takdir yang harus dia jalani. Berat, tetapi ini kenyataan. Bahwa dia hanya seorang pecundang, pemuda miskin.
Ponsel itu kembali berbunyi. Lagi, pesan dari Citra.
Citra : Walaupun hubungan kita sudah berakhir Kak, saya berharap kita masih bisa berteman baik. Ada Aara dan kak Kei, yang masih membutuhkan kita. Citra akan terus mendoakan, yang terbaik untuk Kak Fajar.
Kesedihan itu memuncak hari ini. Dia harus melepas wanita yang sangat dicintainya. Akhirnya, mereka benar-benar terpisahkan.
“Bang, Hendri dengar, ibu Citra lamaran hari ini?” tanya Hendri.
Fajar mengangguk.
“Abang kenapa tidak memperjuangkan cinta ibu Citra?”
Fajar terpaku, dia menahan tangis. Dia tidak mampu menguraikan kesedihannya sendiri.
“Hendri sedih Bang. Karena Hendri tahu, Abang sangat mencintai ibu Citra. Demikian juga beliau,” suara Hendri bergetar. Kesedihan itu pun tidak bisa dia sembunyikan.
“Dia menunggu Abang bertahun-tahun. Tapi Abang tidak bisa memperjuangkannya. Betapa hancurnya hati ibu Citra, Bang.”
Hati Fajar semakin hancur mendengar ucapan Hendri. Dia yang mencintai, dia yang begitu terluka, namun tidak ada yang bisa memahami posisinya.
***
Rumah Citra
Hari ini, Restu, benar-benar datang bertemu dengan ke dua orangtua Citra.
Setelah pagi sampai sore, Fajar tak jua datang, akhirnya Citra menerima kedatangan Restu. Namun, seperti Rahmat, Restu pun pergi tanpa membawa jawaban pasti. Citra belum memberikan jawaban, atas lamaran rekannya itu.
“Pa, bukannya Rahmat sudah melamar Citra? Kenapa Papa masih mengizinkan pria lain, datang melamar Citra?”
“Ini sudah seizin Citra, dan sepengetahuan Rahmat.”
“Mama bingung Pa. Rahmat saja belum dia beri jawaban. Ini, malah ada orang lain lagi.”
“Biarkan saja Ma. Citra katanya, sudah pernah menjelaskan ke Restu. Tapi anak itu tetap ngotot ingin bertemu kita.”
“Terus, harapan ke Rahmat, bagaimana? Mama kasihan sama anak itu. Dia begitu setia menunggu Citra, sampai bertahun-tahun.”
“Semua kembali ke Citra, Ma. Dia yang akan menjalani semuanya. Kita sebagai orangtua, hanya bisa terus mendampinginya.”
“Semoga Citra bisa mengambil keputusan ya, Pa. Kasihan anak orang diberi harapan tanpa kepastian seperti ini. Mama pun akan jenuh, jika diberi ketidakpastian seperti ini.”
“InsyaaAllah, Ma. Citra sudah sangat dewasa. Dia sudah tahu betul, konsekuensi dari setiap sikap dan pilihannya.”