Diskusi dengan Aara selalu saja berlanjut dengan perdebatan yang tak ada ujungnya. Namun, demi kebaikan Aara, Citra berusaha terus bertahan.
“Ini bukan tentang masa lalu Ra! Ini tentang seseorang, yang darahnya mengalir dalam darahmu!” tegas Citra. “Cit, jawabanku masih sama! Kamu hanya membuang-buang tenaga, membahasnya berulang kali!”
“Kamu, selalu mengatakan tentang ibadah. Bahkan ibadah sunnah-mu pun sudah luar biasa sempurnanya. Tapi, ibadah wajib-mu, justru kau abaikan!” sambung Citra.
“Maksud kamu?”
“Kamu lupa? Bakti kepada orangtua adalah kewajiban mutlak bagi seorang anak!”
Aara kembali menyeringai. Dia cukup kaget, dengan ucapan Citra.
“Ha, sebenarnya aku sangat lelah membahas ini. Cukup ya Cit. Biarlah semua berjalan seperti adanya.”
Citra menggeleng. Dia selalu sulit menaklukkan hati Aara.
“Ra, aku saja, sahabatmu, sedih banget mendengar cerita tante Sofia. Kasihan, ayahmu sekarang sendiri. Tidak ada yang mengurus beliau,” ujar Citra, lembut. Berusaha mengetuk kerasnya hati Aara.
Aara tidak merespons.
“Ra, tolonglah, jangan kamu selalu mengedepankan ego dan dendam-mu! Beliau ayahmu. Dan aku yakin, ada doanya, dalam perjalanan-mu, sampai detik ini!”
Aara hanya tersenyum.
Menit berlalu.
Obrolan ringan tentang iman sampai perdebatan masalah yang sama, akhirnya selesai, walaupun tanpa kesimpulan. Begitulah hubungan keduanya.
Tepat pukul sebelas siang, Citra pamit menuju kampus. Dia ada janji bertemu dengan salah satu mahasiwanya.
Tiba di kampus, Citra melangkah lebih cepat menuju ruangannya.
“Assalamu’alaykum,” ucap Citra, tiba di ruangannya. “Wa’alaykumussalam,” jawab Hendri, ramah.
“Sudah lama nunggunya, ya?”
“Belum kok Bu. Kami juga baru tiba, beberapa menit yang lalu,” jawab Hendri. “Maaf ya, tadi sedikit macet di pintu masuk.”
Hendri dan Fiki, tersenyum.
Citra langsung memeriksa dokumen yang dibawa oleh Hendri.
“Ini sudah sesuai dengan permintaan dosen penguji kamu, kan?” tanya Citra. “Iya, Bu. Sudah saya sesuaikan semua.”
“Oke. Kalau begitu tidak ada masalah lagi ya. Saya tinggal tanda tangan di sini.”
Citra menanda-tangani lembaran persetujuan perbaikan skripsi Hendri.
“Kalau Fiki, bagaimana? Sudah selesai?” lanjut Citra. “Alhamdulillah sudah Bu,” jawab Fiki.
“Alhamdulillah. Saya doakan kalian berdua sukses di luar sana, ya. Membawa kebanggaan untuk almamater tercinta ini. Ingat, kehormatan dan nama baik almamater, ada pada setiap sikap dan perilaku kalian!”
“Iya Bu, insyaaAllah,” sahut Hendri.
“Jadi, sudah selesai ya?” sambung Citra. “Ehm, Bu. Apa boleh saya bicara sesuatu? Tapi di luar masalah kampus. Kalau Ibu ada waktu.”
“Sebenarnya saya datang ke kampus, khusus memenuhi janji kita bertemu hari ini. Oke, kamu langsung saja. Apa yang ingin kamu sampaikan?”
“Bu, sebelumnya saya mohon maaf. Ini tentang abang saya, Fajar Bimantara,” ungkap Hendri, pelan.
Citra terkesiap. Dia menarik napas. Nama itu, selalu menghadirkan suasana sendu dalam hatinya. Dia berusaha menjaga sikap, di depan Hendri dan Fiki.
“Bu, sekali lagi maaf jika saya lancang. Bang Fajar itu sangat mencintai Ibu Citra. Setiap malam, Hendri selalu menyaksikan ada nama Ibu Citra, di setiap sujud bang Fajar. Setiap membahas tentang Ibu Citra, selalu ada kesedihan di mata bang Fajar.”
Mata Citra, berkaca-kaca. Sesungguhnya ada hati yang merindu, ada hati yang masih penuh harap.
“Hen, cinta itu bukan hanya sekadar kata, kalimat indah. Tapi, dia butuh pembuktian. Kita tidak hidup di negeri dongeng, tapi ini dunia nyata. Kami mungkin tidak berjodoh.”
“Apakah Ibu tidak bisa memberikan waktu sedikit lagi, untuk bang Fajar?”