Beberapa menit berlalu, Aara dan Citra telah kembali. Mereka lantas duduk kembali di tempat semula.
“Kita bisa lanjutkan?” tanya Hari, pada Aara. “Iya. Kak,” jawab Aara.
“Saya mewakili Keenan, ingin memperjelas pertimbangan apa yang Aara maksud tadi. Adakah hal lain, yang perlu dilakukan atau dipersiapkan Keenan?”
“Di pertemuan kami sebelumnya Kak, Aara membahas tentang pentingnya kesiapan menjadi seorang imam, kepala keluarga. Saya tidak ingin merendahkan suami Aara kelak, jika Aara harus membimbingnya dalam hal agama. Aara tidak ingin mempermalukannya di hadapan Allah.”
Hari mengangguk.
Kei dan Fajar terlihat fokus. Sedangkan Citra, sibuk dengan ponselnya. Dia mulai mengalihkan perhatiannya, dari kondisi yang terus tanpa kepastian ini. Membuat dadanya sesak, khawatir.
“Ketika kesiapan menjadi seorang imam sudah terpenuhi, Aara sangat bahagia Kak. Tapi, ada satu sisi yang juga, sangat penting untuk diperhatikan.
“Adik ibu saya, menikah awal tahun ini. Namun, hanya berselang beberapa bulan, mereka berpisah.”
Ketiga pria itu, tercengang.
“Sebabnya adalah, katanya, suaminya minder dengan jabatan istrinya yang jauh diatasnya. Mereka, dua orang yang sangat dewasa. Tapi, alasan yang bagi Aara tidak masuk akal, bisa juga menjadi badai dalam pernikahan mereka. Dan ini menjadi pengalaman besar untuk Aara, Kak.
"Kadang kelemahan manusia adalah menyepelekan banyak hal. Semua dianggap mudah. Gampang dikompromikan. Tapi, kenyataan tidak pernah semudah itu. Jadi dari cerita ini, Aara jelas butuh pertimbangan kemapanan ekonomi, untuk melangkah jauh.”
Kei tertunduk. Dia akhirnya paham, tujuan pembicaraan Aara.
Fajar tersenyum pilu. Dia menarik napas. Dia paham perjalanan Kei, kian berat. Saat Aara mengungkit tentang kemapanan, jelas itu tidak ada dalam diri Kei. Seperti kegagalannya bersama Citra.
Hari tersenyum. Dia mengakui kebenaran pendapat Aara. Namun, dia pun merasakan beban yang sedang dipikul Kei.
“Mengapa ini menjadi pertimbangan besar untuk Aara, Kak. Karena Aara ingin menjaga kehormatan dan harga diri, suami Aara kelak. Aara tidak ingin mendengar dan melihat, ada yang merendahkannya, karena dibandingkan dengan kondisi istrinya. Dan, kita tidak akan bisa, melarang dan menutup mulut semua orang. Yang bisa kita lakukan, ya, dengan mempersiapkan segalanya, untuk menghindari satu persoalan itu.”
“Ehm. Kemapanan seperti apa, yang Aara maksud? Adakah standarnya?” tanya Hari.
“Standarnya ya minimal setara dengan Aara, Kak.”
Fajar dan Kei, saling berpandangan. Standar Aara jelas tidak kecil. Dia seorang dosen, pendidikan S2, dengan penghasilan yang jelas besarnya. Dan Kei, harus mengejar itu.
“Mungkin, akan ada yang berpikiran saya, matre. Tapi, ini bukan untuk saya, tetapi demi kehormatan pria, yang menjadi suami saya kelak. Dia seorang pria, seorang kepala keluarga, pemimpin. Dan semua sebutan itu, tidak akan ada artinya, jika dia kehilangan wibawanya.
“Aara mencari pendamping hidup, sehidup sesurga, Kak. Jika harus menempuh proses yang panjang, Aara tidak masalah. Aara bisa menunggu dan menikmati semua prosesnya.”
“Jadi, waktu yang diberikan kepada Kei?” tanya Hari, kembali.
“Satu bulan, Kak!” jawab Aara.
Kembali, semuanya tercengang.
Wajah Kei semakin pucat. Harapan itu pelahan samar, dan mulai pudar.
Selama lima tahun dia bekerja, dia belum bisa menggapai apa pun. Dan sekarang, dia hanya diberi waktu satu bulan.
“Aara, apa waktunya tidak terlalu singkat?” tanya Fajar, yang bangun dari diamnya.
“Kak Fajar, terkadang dengan waktu yang singkat, seseorang bisa melampaui standarnya. Bisa keluar dari zona amannya selama ini. InsyaaAllah, jika semua diniatkan untuk ibadah, pasti akan dimudahkan, Kak.”
Fajar menarik napas. Dia menatap sahabatnya.
“Jadi semua kembali pada Keenan. Apa bersedia menerima permintaan Aara atau mau berhenti sampai di sini?” jelas Hari.
Aara tersenyum. Dia menatap Kei, yang terus menunduk sedari tadi.
“Kei?” tanya Hari, kembali.
“Iya Bang. Aku….”
“Iya, kenapa? Bisa atau tidak?!” tegas Hari.
Bismillah.
“Selama itu, Aara siap menunggu? Dan tidak menerima orang lain?” tanya Kei.
Aara tersenyum. “Pasti Kak! Saya sangat memegang komitmen dan memegang janji.”
“InsyaaAllah, aku siap,” ujar Kei, pelan.
“Alhamdulillah. Bismillah, semuanya akan dilancarkan dan dimudahkan,” lanjut Hari.
“Amin,” sahut Fajar, penuh semangat. Mata Citra seketika tertuju padanya. Dan beberapa detik, tatapan mereka bertemu pada satu titik.