Aara berdiri, terpaku, di depan pintu. Tangan Citra kembali menariknya, masuk ke dalam kamar.
“Aara?” suara pria itu, mengagetkan Aara. “Kamu dipanggil, kamu mendekat ke sana,” bisik Citra.
Aara mengangkat alis. Dia bingung. Siapa yang sedang di rawat.
“Ibu? Bisa Ibu jelaskan?”
“Ayah kamu, Ra.”
“Apa?” Aara terkesiap. Ibundanya mengangguk.
Aara menatap Citra. Tanpa menjawab, Aara berdiri dan melangkah menuju pintu.
Namun, tangan Citra dengan sigap menariknya untuk tetap di tempatnya.
Aara tampak menahan emosi. Wajahnya tegang.
“Duduk, Ra. Duduk!” pinta Citra.
Aara duduk, dengan ekspresi yang sama. Dia tidak menyangka, Citra akan melakukan sesuatu yang sangat dia benci. Dia kecewa, sahabatnya sendiri, menariknya ke dalam pertemuan, yang paling dihindarinya.
Aara terpaku dan Citra tetap fokus di sampingnya, menahan tangannya.
“Sin, terima kasih kamu sudah bersedia datang,” ucap Candra, pelan. “Sama-sama Mas. Mbak Sofia yang kasih kabar. Makanya saya usahakan ke sini sekaligus membawa Aara.”
“Aara masih membenci saya, ya?” tanya Candra. “Maafkan dia Mas. Dia masih butuh waktu.”
“Memang benar, saya yang salah. Meninggalkan kalian berdua,” lanjut Candra. Air matanya menetes perlahan. Rasa haru dan penyesalan itu, benar-benar menguasainya.
Di tengah perbincangan, dua orang pria datang. “Sinta?” ucap salah satu pria, kaget.
“Mas Harun,” sahut Sinta.
Pria itu menggeleng. Tidak menyangka akan terjadi pertemuan ini.
Candra tersenyum.
Kamarnya jadi lebih ramai dan penuh kehangatan. Walaupun sang anak, masih terpaku, dengan benci yang terus dia rawat.
“Mas Harun, apa kabar?” tanya Sinta pada pria separuh baya yang baru tiba itu. “Alhamdulillah, baik. Kamu gimana?”
“Alhamdulillah, baik Mas. Mas Harun dengan siapa?” tanya Sinta, seraya menunjuk pria muda yang datang bersama Harun.
“Ini anak saya, Haikal.”
“Sudah dewasa ya Mas. Kita terakhir bertemu, saat anak ini berusia lima tahun, kan?”
“Iya, sudah lama sekali. Bukan dewasa lagi, sebentar lagi udah jadi bapak-bapak,” jawab Harun, yang mengundang tawa lepas. Terkecuali Aara, yang semakin menunjukkan ketidak-nyamanannya.
“Kalau kamu, dengan siapa?” tanya Harun.
“Itu, yang jilbab merah. Anak saya.” Sinta menunjuk ke arah Aara.
“Aara Malaika?” arun memastikan.
“Iya, Mas.”
“Putrinya Candra, kan?”
Sinta mengangguk.
“Dia cantik sekali, Sin. Persis kamu.”
Sinta, tersenyum.
Orangtua pun larut dalam keakraban. Mereka kembali pada cerita masa lalu. Yang membuat mereka banyak tertawa bahagia, tak ada kesedihan.
Citra lelah menahan tangan Aara yang sedari tadi berontak ingin melepaskan diri.
“Lepaskan tanganku Cit, sekarang!” pinta Aara, emosi.
Citra mengalah. Dia tidak ingin, Aara membuat suasana memburuk.
Aara akhirnya melepaskan diri dan meninggalkan ruangan itu. Semua mata tertuju pada Aara, yang bersikap sangat tidak ramah.
“Aara kenapa?” tanya Harun.
“Ceritanya panjang, Mas,” jawab Sinta.
Di lain sisi, Haikal menatap bingung dengan sikap Aara.
Citra pun pamit, menyusul Aara.
Ponsel ibu Sinta, berdering. Pesan dari Citra.
Citra : Tante, maaf kami balik duluan. Aara marah dan memaksa pulang. Tante enggak apa-apa, balik sendiri?
Sinta : Enggak apa-apa, Nak. Kamu tenangkan Aara ya.
Citra : Iya Tante.
“Ada masalah?” tanya Harun, lagi. “Anak-anak balik duluan.”
“Nanti kamu bareng aku dan Haikal.”
“Iya, Mas,” jawab Sinta.
“Anak kamu itu kerja di mana?” sambung Harun. “Dia mengajar di UM.”
“Dosen?”
“Iya Mas.”
“Luar biasa. Kamu hebat Sin. Mendidik anakmu sendiri dan bisa sehebat itu.”
“Alhamdulillah.”
“Kamu enggak ada niat, rujuk dengan Candra?”
Candra dan Sinta, tercengang.
“Mas—“
“Kamu istirahat saja. Ini urusan aku dan Sinta,” sahut Harun, memotong kalimat Candra.
Sinta terpaku. Dia bingung atas pertanyaan Harun, sahabatnya sejak dahulu bersama Candra.
Melihat sikap Sinta dan Candra yang berbeda, Harun melanjutkan kalimatnya.
“Kalian tidak lupa, kan? Aku yang mengenalkan kalian berdua. Aku yang menjadi comblang saat itu.”
Haikal tersenyum, mendengar cerita sang ayah.
“Apa yang salah? Sinta masih sendiri. Candra juga, sekarang, sendiri!”
“Mas, sekarang semua tidak lagi sama,” ujar Sinta.
“Apanya yang tidak sama? Kamu masih cinta kan, sama Candra? Dan Candra masih sangat mencintaimu. Masalahnya di mana?”
“Mas, sudah ada Aara.”
“Kenapa dengan anakmu?”
“Dia belum bisa menerima kehadiran ayahnya. Dendam dan benci masih memenuhi ruang hatinya.”
“Candra, kamu belum pernah cerita yang sebenarnya?” tanya Harun.