Malam kian larut. Fajar telah menyusul Fiki dan Hendri beristirahat.
Kei masih duduk termenung sendiri, di meja kerjanya.
Cinta? Mengapa kamu begitu rumit?
Kamu datang begitu saja, tanpa kuminta.
Setelah dekat, kamu malah menyiksaku, dalam rindu tak berkesudahan.
Menyiksaku dalam jarak, yang tak mampu kutempuh.
Beberapa menit dalam keheningan, Kei tertidur di meja kerjanya.
Lelah tak berujung, tampak jelas di wajahnya. Sang pencinta yang sedang dilanda badai keraguan dan ketidak-berdayaan.
Pukul dua malam, Kei terbangun.
Dia baru sadar, dia masih di meja kerjanya. Setelah menenangkan dirinya, dia beranjak menuju kamar mandi. Lantas, dia mengambil sajadah di lantai dua.
Terlihat, dia akan menunaikan salat. Ketiga rekannya telah larut dalam tidur.
Ya Allah, ya Tuhanku. Perjalanan ini benar-benar melelahkanku. Apakah memang ini, takdir dari-Mu? Perjalanan yang harus kutempuh, menuju-Mu? Ya Allah, ya Tuhanku. Yakinkan aku untuk terus melangkah.
Kamu tahu, diri ini tak punya apa-apa. Aku hanya punya modal harapan dan doa-doa, di setiap sujudku. Apakah Aara Malaika, adalah takdir dari-Mu? Ya Allah, aku malu memintanya pada-Mu. Apalah aku ini ya Allah. Hanya seorang pendosa, manusia penuh noda.
Kei larut dalam tangis. Air matanya mengalir deras, di pipinya. Setiap tetes air mata, menjadi bukti, kepasrahan pada Tuhannya.
Ya Allah, aku benar-benar mencintainya. Wanita pertama dalam hidupku, yang membuatku seperti ini. Jika dia memang baik untukku, aku mohon mudahkan langkahku ya Allah. Tuntun aku. Jangan Engkau biarkan aku, keluar dari jalur-Mu. Sampaikan salam rinduku pada-nya ya Rabb. Aku benar-benar sangat merindunya.
Ya Allah. Apakah aku harus memilih menanggalkan gengsi demi wanita yang sangat aku cintai? Aku mohon berikan aku kekuatan dan petunjuk-Mu. Agar aku tidak keliru melangkah. Ya Rahman, yaa Raahiim. Engkaulah tempat kami meminta, tempat kami memohon pertolongan.
Kei terus larut dalam doa-doa yang dikirimnya ke Penguasa Langit.
Beberapa jam berlalu.
Pagi menjemput, matahari pun bersinar indah, menampakkan senyum semangat.
Pagi sekali. Kei telah sibuk dengan dokumen-dokumen yang ada di meja kerjanya.
“Ada apa Kei?” tanya Fajar, heran dengan gelagat berbeda Kei. “Pagi ini, kita harus menyelesaikan ini semua. Sebelum zuhur, kamu temani aku!”
“Mau ke mana?”
“Nanti kamu lihat saja!”
Fajar, mengangkat alis, penasaran.
Tepat pukul sebelas siang, Kei dan Fajar meninggalkan Man Art. Mereka menuju sebuah tempat, yang sedari tadi, masih dirahasiakan oleh Kei.
“Ini, kantor siapa?” tanya Fajar, tak mengerti.
Kei tidak merespons. Dia fokus melangkah, menuju lantai sembilan, gedung bertingkat itu.
“Akhirnya kalian datang juga!”
Haikal?
Fajar sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya.
Apa mungkin, Kei menerima saranku? Ya Allah, ini benar-benar keajaiban, Fajar membatin.
Fajar mengikuti langkah Kei.
“Silahkan duduk,” ucap Haikal. “Terima kasih,” jawab Kei.
Kei dan Fajar, lantas duduk di sofa, di ruang kerja Haikal. Ruang kerja yang sangat luas. Tiga kali lipat luasnya, dibanding ruang kerja Man Art.
“Jujur, saya sangat terkejut, mendapat telepon dari kamu, Kei. Saya penasaran, ada apa ini? Apa yang membuat kamu yang seperti ini, bisa mengubah keputusan? Apakah Kei yang sombong itu, sudah tinggal kenangan?” ujar Haikal, terkekeh.
Astagfirullah. Aku harus kuat. Aku harus menerima ini semua. Ini bahagian dari perjalananku, batin Kei.
Ya Allah, Kei. Kamu rela menerima ucapan Haikal? Sahabatku, cinta benar-benar mengubahmu, pikir Fajar, dengan mata berkaca-kaca.
Fajar sangat terharu dengan perubahan sikap sahabatnya itu.
“Kita langsung saja! Aku sudah di sini, apa yang harus aku lakukan?” ungkap Kei.
“Oke. Sesuai janji saya, ada dua posisi penting untuk kamu dan Fajar. Manajer pabrik dan manajer operasional. Silahkan, kamu pilih sesuai kemampuan kalian berdua.”
“Tapi aku punya syarat!” ujar Kei.
Haikal tertawa. “Apa yang kamu inginkan?”