Citra berdiri dan melangkah setengah hati menemui Aara, di dalam kamar.
Dia merasakan suasana pagi ini, sangat tidak mengenakkan. Semua pikiran negatif, sudah berkecamuk dalam kepalanya. Dia terus bertanya, tujuan Haikal menemui Aara.
“Citra?” Aara terkejut, melihat kehadiran Citra.
“Iya!”
“Kamu sudah dari tadi?”
“Iya, aku ngobrol di depan dengan tante Sinta.”
“Kamu kenapa? Kok mukanya gitu?”
“Ra, ayo keluar. Ada tamu untuk kamu?”
“Tamu?”
“Iya, Haikal anaknya om Harun.”
“Yang di rumah sakit itu?” Aara memperjelas.
“Iya. Ayo cepat! Dia udah dari tadi lho.”
“Ada urusan apa?”
“Mana aku tahu? Ayolah! Enggak enak ditungguin!”
Masih dengan kebingungannya, Aara mengganti pakaiannya dan menemui Haikal di ruang tamu. Citra tetap bersamanya.
“Assalamu’alaykum,” sapa Haikal, ramah.
“Wa’alaykumussalam,” jawab Aara, tersenyum.
Aara dan Citra, duduk di depan Haikal.
“Iya, ada yang bisa saya bantu?” tanya Aara.
Haikal terpaku sejenak. Dia tampak berpikir.
Aara dan Citra, saling berpandangan.
Citra semakin tertekan dengan apa yang diketahuinya. Belum lama dia mendengar ucapan ibu Sinta, tentang keinginan ayah Haikal menjodohkan Aara dengan Haikal.
Apakah ini maksud dari ucapan tante Sinta? pikir Citra.
“Apakah Aara sudah punya teman dekat?” ujar Haikal, tiba-tiba.
Citra dan Aara terkesiap.
Ya Allah, batin Citra.
Semua semakin jelas. Keadaan semakin rumit.
“Ada apa Kak? Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?” tanya Aara, memperjelas.
“Jika belum ada, saya ingin mengajukan proposal taaruf untuk Aara.”
Citra tidak bisa lagi tenang, dia gelisah.
Aara tersenyum, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Taaruf?”
“Iya, taaruf. Sejak pertemuan pertama kemarin, saya merasa tertarik pada Aara. Hal ini sudah saya sampaikan ke ayah saya. Dan beliau sangat setuju. Ibu dan ayah Aara pun, mengizinkan dan meminta saya, untuk langsung menyampaikan hal ini pada Aara.”
Giliran Aara, kebingungan.
Taaruf? Tidak ada salahnya, dicoba? Toh hanya taaruf! pikirnya.
“Ehm. Boleh Kak. Silahkan Kak Haikal mengirimkan ke email saya.”
Citra tampak tidak percaya dengan jawaban Aara.
Bagaimana dengan Kak Kei? Ya Allah, Aara. Kamu!
Aara lantas menuliskan alamat emailnya, pada secarik kertas, yang diberikan Haikal.
Setelah percakapan singkat itu, Haikal pamit.
“Ra? Ada apa ini? Kamu sadar, apa yang kamu lakukan?” Citra melakukan protes, atas sikap Aara.
Aara hanya diam. Dia langsung menjatuhkan badannya di kasur, dalam kamarnya.
“Ra! Kamu kenapa? Ya Allah. Kak Kei, Ra! Kak Kei!”
Citra meratap. Dia sangat tertekan dengan sikap Aara.
Dia sangat peduli pada perjuangan Kei. Dia tidak ingin sahabatnya, menyakiti hati seseorang yang sangat tulus padanya.
“Citra! Tenang! Ini hanya taaruf. Kita tidak pernah tahu, siapa yang Allah takdirkan untuk kita. Jadi, siapa pun yang datang, tidak ada salahnya diberi kesempatan untuk berproses.”
“Ra, kamu kenapa kejam banget sama kak Kei. Sedangkan ke kak Haikal itu, kamu dengan mudah memberi persetujuan?”
“Citra, aku hanya memberi persetujuan menerima proposal taaruf-nya. Itu saja!”
“Tapi, kak Kei, kamu memberi syarat yang begitu sulit?”
“Citra, sahabatku. Apa pun yang aku lakukan ke kak Kei, itu semua untuk kebaikannya. Tidak ada untungnya buatku, Cit. Dia dekat dengan Allah, akan kembali pada dirinya. Dia mapan, untuk dirinya!”
“Tapi, kenapa Ra? Perlakuanmu ke kak Kei begitu dingin, sedangkan tadi, kamu tersenyum, ramah?!”
Citra terus menuntut penjelasan. Dia tidak terima dengan sikap Aara, yang sangat berbeda ke Haikal.
Aara hanya tersenyum. Dia tidak menjawab pertanyaan Citra.
Suasana hati Citra semakin buruk pagi ini. Dia terdiam. Dia terlihat sangat lelah.
Hening.
Bunyi ponsel Aara, tiba-tiba memecah suasana. Perhatian Citra, beralih ke sikap Aara, menatap layar ponselnya.
“Ada apa, Ra?”
“Email dari Kak Haikal,” jawab Aara.
Citra menarik napas. Keseriusan Haikal, semakin membuatnya tidak berdaya. Dia sudah lelah terus mengingatkan sahabatnya. Citra merasa terluka dengan sikap Aara.
Kak Kei, aku begitu mengkhawatirkanmu.