Citra hanya tersenyum. Dia bingung, menyusun kalimat.
Kadang rindu, tidak bisa terwakilkan dengan bahasa apa pun.
Beberapa menit berlalu. Kei pamit dan meninggalkan warung soto Mas Tomo.
“Cit?”
“Iya Ra?”
“Aku bingung. Sebenarnya bagaimana hubungan kalian?” ujar Aara, Menyambung pembahasan Kei.
Citra terpaku.
“Kak Rahmat, pak Restu? Kamu terlalu banyak fans, aku jadi pusing!” sambung Aara.
Citra tersenyum.
“Ra, sebanyak apa pun orang yang datang dalam hidup kita, hati akan tetap terpaut pada cinta. Sejauh apa pun kita melangkah, sejauh apa pun jarak tercipta, cinta itu tetap akan berada di tempatnya.”
“Aku semakin bingung. Bukannya tanggal pernikahan kamu dan kak Rahmat sudah ditentukan?”
Lagi, Citra hanya merespons dengan senyuman.
Aara menggeleng, tidak mengerti sikap sahabatnya itu.
“Ra, kita kembali ke urusan kamu. Kamu tuh ya. Kamu menerima proposal kak Haikal, sekarang proposal kak Kei?”
“Iya!”
“Ra, yang jelas, kamu akan memilih salah satu. Dan salah satunya, akan terluka!”
“Bisa salah satu, atau tidak keduanya!”
“Apa?” sahut Citra, kaget.
Aara tersenyum. “Cit, aku bisa saja menolak keduanya, kan?”
“Aara—“
“Proposal tidak mutlak langsung diterima kan, Cit?”
“Ra, tetapi ini proposal nikah? Kasihan anak orang!”
“Cit, ini untuk masa depanku. Jelas, banyak pertimbangan, banyak hal yang harus aku persiapkan.”
“Astagfirullah.” Citra menarik napas. Dia tidak menyangka pikiran Aara, akan seperti ini.
Tidak lama, ponsel Aara kembali berbunyi. Tampak sebuah pesan masuk.
“Ini, email kak Kei. Kamu saja yang baca!” ucap Aara.
“Kok aku?”
“Aku minta tolong, ya?”
“Astagfirullah.”
Citra semakin pusing, menghadapi sahabatnya itu.
“Aku bacain?”
“Kamu baca dulu. Kalau ada yang penting, baru kamu kasih tahu aku.”
“Kok begitu?”
“Kan aku sudah banyak tahu tentang kak Kei. Apa lagi?”
“Aara!!!” Citra mulai tidak mengendalikan diri. Dia dongkol.
“Huss, banyak orang. Suara dikecilin!”
“Ya Allah. Kamu ya Ra. Kok kamu bersikap seperti ini ke kak Kei. Tidak adil!”
Aara hanya tersenyum.
“Kenapa sih kamu, enggak mau bagi nomor ponsel kamu ke kak Kei? Aku capai jadi perantara terus. Apa sih susahnya?”
“Citra, sahabatku yang cantik. Aku tidak ingin memberikan harapan lebih. Mendahului Allah.”
“Tapi kenapa harus nomor ponsel aku?” Citra mencari jawaban. “Kamu sahabat terdekatku, kan?”
“Iya.”
“Lagian, kamu punya hubungan hati dengan kak Fajar. Jadi, jelas enggak akan ada hati dengan kak Kei.”
“Kamu ya, paling pintar buat alasan.”
Aara tertawa.
“Kak Kei itu sangat mencintaimu, Ra,” sebut Citra. “Cit, yang terpilih adalah yang paling sabar dan mau berjuang.”
“Kak Kei kan, sudah berjuang?”
“Iya, berarti sisa kesabaran!”
“Kesabaran apa lagi?”
“Sabar kalau tidak terpilih. Atau sabar menanti, menunggu jawaban.”
“Ya Allah. Ra, aku mohon, kamu jangan hancurkan harapan kak Kei. Perjuangannya sudah sangat luar biasa untuk kamu.”