Haikal berlalu.
“Sin, kamu lihat? Kalau seperti ini, aku semakin tidak enak dan berutang budi kepada mereka. Bagaimana jika Aara menolak Haikal?”
“Keluarga mas Harun, keluarga yang tulus, Mas. InsyaaAllah, mereka bisa menghargai semua keputusan Aara. Karena Aara sudah dewasa. Kita tidak mungkin mencampuri keputusannya.
"Mas kan tahu, bagaimana karakter Aara. Hubungan Mas dan Aara pun, belum membaik. Sinta khawatir, jika kita terlalu jauh masuk ke dalam persoalan Haikal dan Aara, Aara semakin menjaga jarak dari kita.”
“Aku merasa persoalan ini begitu rumit. Mengapa Haikal harus jatuh hati pada Aara. Kekhawatiranku terlalu besar, hal ini akan mempengaruhi hubungan baik kita dengan keluarga Harun.”
“InsyaaAllah, Mas. Sinta yakin, Aara akan mengambil keputusan terbaik.”
“Amin.”
***
Tiba di kantor, Kei dikejutkan dengan kehadiran Fajar, di ruangannya.
“Pak Fajar Bimantara? Kamu udah balik?”
“Keenan Ramadhan, apa kabar bos?”
“Bos, bos. Kamu yang bos! Udah dari perjalanan jauh dengan bos besar. Sudah terbang jauh, hebat!”
Fajar terkekeh. “Aku malah jadi minder, mendengar pujian tidak penting kamu, Kei.”
Kei menyimpan tasnya dan duduk di samping Fajar.
“Gimana kabar London?”
“Amazing.”
“Ckck, baru sepekan di luar negeri, sudah berubah banyak kamu ya?”
Fajar kembali tertawa. “Aku punya impian dan doa sama Allah. Perjalanan selanjutnya ke London, harus bersama wanitaku.”
Giliran Kei, tertawa. “Ada apa ini?”
“Oh ya Kei. Aku bertemu seseorang saat penerbangan kembali ke Indonesia,” ingat Fajar. “Siapa?”
“Coba tebak? Cewek paling nakal di kelas kita!”
“Melisa?”
“Tepat sekali!”
“Dia di London?"
“Iya, dia kerja di London.”
“Jar, bukannya si Melisa, dulu fans banget sama kamu?”
“Kei!”
“Lho kok malah sewot? Aku cuma bertanya. Dia masih sendiri, kan?”
“Iya!”
“Kamu, kenapa enggak sama dia saja? Dia cantik, kan? Pintar. Apa lagi?”
Ekspresi Fajar berubah. Dia merasa tidak nyaman dengan kalimat Kei.
“Fajar. Citra kini sudah jadi masa lalu. Saatnya untuk kamu, melangkah. Sebagai sahabat, aku mendukung, kamu mencoba memulai.
"Mungkin takdir Allah, yang mempertemukan kamu dengan Melisa, setelah sekian lama tidak pernah bertukar kabar.”
Fajar masih terpaku.
“Apakah kamu ingin membiarkan dirimu terus larut dalam kenangan, yang jelas sudah pergi? Masa lalu, yang jelas sudah berlalu?”
“Semua tidak semudah itu, Kei.”
“Oke, perlahan. Sudah punya nomor ponsel, Melisa?”
“Sudah.”
“Ya, bisa dimulai dari situ. Banyak ngobrol. InsyaaAllah, bisa membuat hatimu, lebih mudah melepaskan yang masih terpenjara.”
“Iya, Kei,” jawab Fajar, lemah. “Pernikahan Citra, sebulan lagi, kan?”
“Iya.”
“Memang sudah waktunya, kamu melepaskan dia, Jar. Biarkan dia terbang bebas, bersama kebahagiannya. Dan kamu, menjemput kebahagiaanmu.”
Fajar menarik napas. “InsyaaAllah, Kei.”