Aara menghela napas. Dia syok, tertekan, bingung. “Kemudian?”
“Aku tidak sadar menatap kak Fajar, membuatku mengabaikan kak Rahmat. Aku tidak fokus terhadap semua apa yang beliau ucapkan.”
“Kak Fajar tahu keberadaanmu?”
“Kayaknya enggak, karena dia bersama beberapa temannya.”
“Jadi, apa yang terjadi?”
“Kak Rahmat menyadari perubahan sikapku. Dia bertanya. Siapa kak Fajar, apakah aku kenal?”
“Ya Allah. Citra, Citra….”
“Aku tidak bisa bohong, Ra. Makanya aku katakan yang sebenarnya.”
“Tanggapannya?”
“Cit. Kamu tahu kan, aku sangat mencitaimu. Sangat mengharapkanmu, jadi pendamping hidupku sehidup sesurga. Tapi, aku merasa hari ini, aku tidak pantas untuk itu. Beberapa tahun kita saling kenal, aku tidak pernah melihat sinar mata itu, ada untuk aku. Apakah aku sanggup, menyakiti hati seseorang yang sangat aku cintai, dengan memaksanya mencintaiku? Kita tidak lama lagi akan menikah, tetapi aku baru sadar saat ini. Aku menyakitimu, dengan harapanku yang terlalu tinggi.
“Aku minta maaf ya, Cit. Aku membuatmu tertekan selama ini.”
“Aku hanya terpaku, tertunduk dengan semua kalimat kak Rahmat. Air mataku pun tidak bisa lagi kukendalikan. Aku merasa bersalah, merasa kejam pada kak Rahmat. Tapi, apalah dayaku Ra. Hati ini benar-benar tidak bisa aku paksakan,” sesal Citra.
“Jujur Cit, aku tidak lagi bisa mengukur, bagaimana terlukanya kak Rahmat. Dia berjuang untukmu bertahun-tahun, tetapi akhirnya dia harus melepasmu. Aku merasa, merasakan sakit yang beliau rasakan.”
Hening.
Citra diam, merenungi perjalanan takdirnya.
“Jadi setelah itu?”
“Kak Rahmat menemui papa dan mama dan menjelaskan, pembatalan pernikahan kami.”
“Ya Allah, aku tidak bisa membayangkan duka yang melanda kak Rahmat. Dia benar-benar mencintaimu, Cit. Sangat!”
“Inilah kehendak-Nya Ra. Aku sudah berusaha menerimanya, tetapi justru takdir berkata lain. Aku ikhlas dan menikmati proses yang terus Allah berikan padaku.”
Aara tidak menjawab. Dia langsung memeluk Citra.
“Jadi kak Fajar gimana?” sambung Aara. “Enggak tahu, Ra.”
“Kok enggak tahu?”
“Aku sudah mengucapkan kata pisah, Ra. Dan mungkin sekarang, dia sudah punya orang lain.”
Aara terpaku. Dia kehilangan kata-kata.
Takdir cinta Citra dan Fajar begitu rumit. Entah bagaimana Allah memberikan skenario terbaiknya.
Beberapa menit berlalu, Aara pamit dan meninggalkan rumah Citra.
“Aara sudah balik?” tanya Melisa, memecah lamunan Citra.
“Iya, Kak.”
“Oh ya Cit. Kak Melisa mau minta tolong. Boleh enggak?”
“Iya, Kak. Ada apa?”
“Kamu temani Kakak makan malam, ya. Kak Melisa mau bertemu kawan lama.”
“Kenapa enggak Kak Melisa saja?”
“Supaya kamu kenal juga, dengan kawan Kakak itu.”
“Cowok ya, Kak?” tanya Citra, menggoda. Melisa membalas tersenyum. “Kok tahu?”
“Wajah Kak Melisa itu, enggak bisa bohong.”
Melisa terus tersenyum, lantas dia duduk di samping Citra.
“Sebenarnya, Kak Melisa kecewa datang ke Indonesia, malah acara kamu dibatalkan. Tapi, Kak Melisa juga bersyukur.”
“Kenapa Kak?”
“Sekian lama, Kak Melisa kembali dipertemukan dengan kawan lama, yang dulu sempat mengisi hati Kak Melisa.”
Citra tersenyum. “Mungkin ini rencana Allah, Kak. Kak Melisa ke Indonesia, bukan untuk acara Citra. Tapi, untuk menjemput jodoh Kak Melisa sendiri.”
“Amin. Semoga ya sayang. Soalnya, dia tambah ganteng, sekarang. Pesonanya tidak pernah luntur. Semakin dewasa, dia semakin berwibawa, semakin keren.”
“Kawan Kak Melisa stay di Indonesia?”
“Iya Cit. Kemarin kami bertemu di perjalanan dari London ke Indonesia. Tak terencana, berada di sheet yang berdampingan.”
“MasyaaAllah. Skenario Allah ya Kak. Luar biasa.”
“InsyaaAllah, Cit.”
“Jadi, misalkan Kak Melisa benar-benar berjodoh dengan beliau, Kak Melisa balik ke Indonesia?”
“Ya harus. Kan Kak Melisa harus ikut suami. Pekerjaan kan, bisa ditemukan di mana saja. Tapi cinta, dia akan tetap berada di tempatnya.”
Kalimat Melisa, seketika membuat jantung Citra berdegup kencang.
Cinta? Apakah benar cinta itu, masih bisa kuperjuangkan ya Rabb?
***
Malam tiba.
Citra dan Melisa tengah dalam perjalanan, menuju tempat Melisa membuat janji dengan kawan lamanya.
Citra terkesiap. “Di sini, Kak?”
“Iya. Ini tempat favorit kami saat kuliah dulu. Tapi, kini sudah berbeda banget. Sekarang bukan lagi tenda, sudah bangunan permanen. Berlantai dua.”
Citra merasa jantungnya tiba-tiba berjalan tak normal. Perasaannya sungguh tak nyaman. Kembali berada di tempat, di mana banyak cerita telah terukir.
Citra terus menenangkan dirinya dari perasaan yang tidak dipahaminya.
“Itu dia, sudah datang,” ucap Melisa, menatap ke arah pintu masuk.
Astagfirullah. Citra merasa jantungnya berdetak semakin kencang. Dadanya sesak. Perasaannya semakin tidak nyaman.
Fajar tak kalah kaget. Wajahnya, pucat.