Citra semakin gusar atas keputusan Aara. Dia merasa seperti tidak mengenali sahabatnya itu.
“Nanti, aku bertemu dengan kak Haikal saja. Untuk kak Kei, bisa melalui telepon saja,” sambung Aara. “Aara! Kamu ini kenapa?” Citra mulai kesal dengan semua kalimat yang disampaikan Aara.
“Kenapa?”
“Kak Kei yang banyak berjuang untuk kamu, mengapa malah perhatian kamu lebih besar ke kak Haikal?!”
“Kan selama ini, memang komunikasi dengan kak Kei, enggak pernah langsung, Cit. Sedang kak Haikal, sejak awal, memang kita selalu bertemu langsung.”
“Aku merasa, hatimu lebih terpaut pada kak Haikal!”
“Kamu keliru, Cit.”
“Keliru apanya? Jelas sekali, perlakukan kamu berbeda. Kamu tidak pernah menjaga perasaan kak Kei. Apakah karena kak Haikal lebih mapan?!”
“Citra! Maksud kalimat kamu, apa?!” Berbalik, Aara emosional mendengar tuduhan Citra.
“Ya, itu pikiran aku saja. Karena kamu lebih memperioritaskan semua tentang kak Haikal, sedang hal berbeda kamu tunjukkan ke kak Kei. Padahal dia sudah berjuang dari awal untuk kamu.” Citra menurunkan tempo, setelah sadar Aara mulai terpancing.
“Ada banyak alasan yang tidak perlu aku jelaskan. Tapi inilah keputusanku!” tutup Aara.
Citra diam. Tak ada lagi yang bisa dia lakukan.
***
Langit terlihat mendung, siang ini. Ada guratan suram, kepedihan yang terpancar di sana.
Setelah mendebat panjang Aara, akhirnya Citra harus menemui Kei sendiri. Citra tidak tega, membatalkan pertemuan dengan Kei.
Aara, kamu benar-benar kejam, batin Citra. Matanya berkaca-kaca.
Dia terus mempersiapkan kalimat untuk menghadapi Kei.
Dalam perjalanan, Kei tak berhenti tersenyum. Ada kepercayaan diri yang besar dalam hatinya. Ada keyakinan, bahwa perjuangannya selama ini, tidak akan sia-sia.
Citra sudah tiba lebih dulu. Kei dan Fajar pun, menyusul.
Raut wajah tegang Citra, seakan menunjukkan segalanya. Wajahnya pucat, berat hatinya.
“Maaf, Kak. Setelah melaksanakan istikharah, Aara sampai pada keputusan. Aara harus menerima lamaran orang lain.”
Kei, tersentak.
Wajahnya berubah pucat. Matanya menyiratkan kesedihan atas apa yang didengarnya.
Citra menunduk. Dia tidak sanggup melihat kekecewaan dan kesedihan di wajah Kei.
Kei masih terdiam. Mulutnya terkunci. Dia merasa waktu berhenti. Semua harapan lenyap. Semua impian, hancur.
“InsyaaAllah, Kak Kei, akan bertemu dengan seseorang yang jauh lebih baik,” lanjut Citra, memberikan semangat.
Kei, tersenyum, pahit. “Iya, Cit. Saya berusaha menerima keputusan ini. Semoga pilihan Aara, itulah yang terbaik.”
“Amin.”
Sebuah doa terucap dari bibir, seorang lelaki yang hatinya sedang patah. Lelaki yang cintanya dilanda badai besar, yang menghempasnya jauh.
Hening.
Tanpa banyak kata. Pertemuan singkat itu, berakhir.
Patah hati yang tengah dirasakan Kei, tak mudah dijelaskan lagi. Fajar dan Citra, tampak ikut merasakan sakit yang sama.
Fokus pada urusan Aara dan Kei, namun hati mereka berdua pun, sedang dilanda badai yang sama. Entah, ke mana kisah mereka akan berakhir. Apakah kedukaan ini, akan berlanjut dan akan berakhir dengan tangis yang sama?
Kei memang mampu terus menyembunyikan kedukaannya. Dia tampak tenang, selepas pembicaraan dengan Citra. Namun, duka yang menggunung itu, akhirnya roboh.
“Kamu kenapa, Kei? Aku kaget, saat tante Mirna memberi kabar, kamu masuk rumah sakit,” sebut Haikal, mengunjungi Kei.
“Enggak apa-apa kok, Kal. Aku butuh istirahat saja.”
“Padahal, aku mau lamaran besok pagi. Tapi, aku maunya, didampingi sama kamu,” sambung Haikal.
“Lamaran?”
“Iya, alhamdulillah. Allah sudah mempertemukanku, dengan seseorang yang sempurna,” ujar Haikal, tersenyum. Wajahnya, merona. Tampak nyata, dia sangat berbahagia dan sedang jatuh cinta.
Kei terpaku.
Hatinya terkoyak mendengar cerita Haikal. Lagi dan lagi, Haikal selalu berada jauh di depannya. Dia selalu kalah dengan langkah Haikal.
“Kei?”
“Iya Kal,” jawab Kei, tersentak.
“Kok kamu diam?”
Kei tersenyum. “Aku ikut bahagia, saudaraku sebentar lagi menyempurnakan seperdua dari agamanya. Selamat ya, Kal.”
“Terima kasih ya, Kei. Aku sangat bahagia, Allah benar-benar menyempurnakan keluarga kita.”
Ibunda Kei tampak menghapus butiran air di pipinya. Ada rasa sedih yang sedang dia nikmati sendiri.
Beberapa menit berlalu, Haikal pamit, dan meninggalkan kamar rawat, Kei.