Lelaki Pilihan Surga

Jane Lestari
Chapter #35

Bagian 35

Kehidupan selalu berjalan seimbang. Di tengah duka, akan selalu hadir tawa. Di tengah kebahagiaan Haikal, segera melamar wanita idamannya, ada hati pria lain, yang sangat hancur.

Keluar dari rumah sakit, kehidupan Kei, terus berjalan, namun tanpa ada lagi harapan. Tatapannya selalu kosong.

Duka itu pun terasa sampai kepada sahabatnya dan juga pada ibundanya. Mereka terus berupaya mencari jalan, untuk bisa menguatkan dan membantu Kei, bisa melewati fase terberatnya ini.

Tiba di rumah, Kei masih bersama diamnya. Sedang, sore ini adalah hari lamaran Haikal.

Fajar terus hadir, mendampingi sahabatnya itu. Kasih sayang itu tampak jelas, sudah lebih dari sebuah persaudaraan biasa. 

“Maksud kamu, Kei?” Fajar tersentak dengan ucapan Kei tak lama setelah tiba di rumah.

“Kamu enggak usah sembunyikan lagi, Jar. Aku sudah tahu semuanya,” ujar Kei.

Fajar salah tingkah.

“Kita akan ke rumah Aara, kan?”

Fajar tersudut. Entah bagaimana dia bisa menjelaskan kenyataan pada sahabatnya itu.

“Kamu tidak usah lagi menyembunyikan semuanya, Jar. Aku sudah mendengar semua, percakapanmu dengan ibuku saat di rumah sakit.”

Ya Allah, berikan kami perlindunganmu, batin Fajar.

Kei terus menguatkan diri. Matanya tidak bisa menyembunyikan kehancuran hatinya.

“Kamu tetap akan ikut ke acara Haikal?” tanya Fajar.

“Apakah aku punya pilihan? Inilah takdirku. Aku seperti ditembak tepat di jantung, dengan dua tembakan sekaligus. Sakitnya, tidak bisa aku uraikan.

"Ditolak Aara, hancur hati ini! Ternyata Aara memilih Haikal. Hati yang hancur, kembali dilukai, tanpa sisa! Semua yang aku lakukan selama ini, hancur, tanpa nilai sama sekali. Apa lagi, aku kembali dikalahkan dengan telak. Aku semakin tidak punya muka dihadapan Haikal!”

Fajar terpaku. Dia kini, kehilangan kata.

Sejak keputusan Aara memilih Haikal, banyak harapan dan keceriaan seketika hilang, bersamaan. Banyak hati yang patah, banyak kecewa. Namun inilah perjalanan, kadang harus berhenti sejenak, kemudian melanjutkan perjalanan. Berhenti, apakah karena lelah yang hadir. Ataukah karena takdir memaksa.

Waktu berlalu sangat cepat. Waktu menunjukkan pukul empat sore.

Rombongan keluarga Haikal, tiba di rumah Aara. Telah hadir ke dua orangtua Aara.

Suasana seketika kaku saat Aara mendapati kehadiran Kei. Dia tidak bisa menyembunyikan kedukaannya.

Kedua keluarga sudah berkumpul. Namun, tampak ekspresi wajah Haikal berubah. Dia memperhatikan sikap Aara dan tatapan matanya yang penuh kesedihan.

Haikal merasa, ada perasaan yang sedang berusaha disembunyikan wanita itu. Jika ini adalah hari bahagia untuknya dan Aara, seharusnya Aara bahagia, seperti dia sangat berbahagia, menyambut pertemuan ini.

Ada apa dengan Aara? Tante Sinta juga kenapa? Mengapa, aku merasa, kebahagiaanku, tidak ada pada mereka? Haikal membatin.

Dia pun melihat ke arah Kei. Dia kembali menemukan hal yang sama.

Kei terus menunduk, menyembunyikan wajah sedihnya dan hatinya yang sangat berduka.

Bukankah ini acara yang membahagiakan? Tapi mengapa, mereka bersedih hati? Adakah yang tidak aku ketahui?

Haikal gelisah. Dia semakin penasaran dengan apa yang dilihatnya. Saat ke dua keluarga, telah masuk ke dalam pembahasan waktu pernikahan, Haikal menyela, “Maaf, Om, Tante. Haikal tiba-tiba teringat ada meeting penting dengan klien besar. Apakah bisa, pembahasan selanjutnya, nanti Haikal bicarakan berdua dengan Aara? Apa boleh, Om, Tante?”

"Pekerjaan kan bisa menunggu?" ujar Harun. "Ini penting Pa, untuk perusahaan. Kalau aku gak hadir, klien akan menilai kita tidak profesional," Haikal meyakinkan.

“Iya, Nak. Tidak apa-apa,” jawab Candra, menyetujui.

Citra melihat gelagat aneh Haikal.

Setelah beberapa penjelasan dari Haikal, keluarga pun mengakhiri acara lamaran.

Ada rasa ingin tahu, terus membayangi Haikal. Dia tidak tenang. Dia ingin meminta penjelasan dan dia terus berpikir, sosok yang bisa menjelaskan semua ini.

Dari rumah Aara, Haikal kembali ke kantor. Dia ingin menuntaskan segera, rasa ingin tahu-nya.

Dua jam berlalu. Tampak dua sosok pria, keluar dari ruangan Haikal.

Tak berselang lama, Kei pun hadir di ruangan Haikal.

Kei terkesiap.

Ruangan Haikal berantakan. Seluruh dokumen berhamburan di lantai. Meja kerja Haikal, tak berbentuk lagi. “Kal?”

Haikal berdiri, mendengar suara Kei.

“Oh kebetulan kamu di sini. Aku mau bicara banyak hal!”

Kei lantas duduk.

“Begini cara kamu, membalas kebaikan saudaramu?!”

“Maksud—“

“Aku belum selesai bicara!” ujar Haikal, melotot.

Kei terdiam. Dia masih tenang, dia berusaha menghormati Haikal, sebagai atasannya.

Haikal menyeringai. “Aku sangat mencintai Aara. Kamu tahu kan?”

Kei mengangguk, mengiyakan.

“Terus kenapa, kamu tega, menghancurkan hati saudaramu sendiri?!”

“Tapi, Kal—“

“Ini balas budimu, sama aku?”

Kei terkejut. Dia tidak menyangka, Haikal akan mengungkit semua bantuan padanya selama ini.

Kei menarik napas. Apalah dayanya. Dia berada di titik paling lemah. Dia hanya saudara yang tak bernilai. Dia tidak punya hak membela diri.

 “Kita tumbuh bersama Kei. Apa yang kudapat dari papa dan mama, ingin selalu kubagi denganmu. Seperti tante Mirna, yang sejak kecil, selalu membagi kasih sayangnya padaku. Kasih sayangnya, yang seharusnya hanya untukmu, dia bagi padaku.

"Aku sudah berjanji, aku akan memberikan apa pun yang aku punya. Sebagai terima kasihku padamu, atas kasih sayang dari tante Mirna, yang sudah ikhlas kamu bagi denganku.”

Haikal mengambil jeda. Berusaha menerima kenyataan.

Lihat selengkapnya