Acara pernikahan selesai.
Aara sudah berada di rumah Kei. Kecanggungan itu tampak jelas hadir antara keduanya.
Hanya ada keheningan dan suara jam dinding, yang terus berdetak.
Aara tampak sibuk mengatur pakaiannya. Sedang Kei, terus gelisah. Mondar mandir, entah apa yang dikerjakannya.
“Kak Kei, membutuhkan sesuatu?” tanya Aara.
“Ehm, enggak Ra.” Kei tampak pucat.
“Kak, saya mau izin,” lanjut Aara. “Ada apa Ra?”
“Boleh saya pake ruang kerja Kak Kei? Beberapa tugas mahasiswa, harus saya selesaikan malam ini.”
“Enggak istirahat dulu?”
“Nilainya harus masuk besok, Kak.”
“Iya, kamu pakai saja.”
Percakapan terdengar sangat kaku. Aara bergeser ke ruang kerja.
Sedang Kei, menyibukkan diri dengan membaca buku di atas tempat tidurnya, ya sambil memegang ponsel.
Kei: Jar.
Fajar: ?? Ngapain kamu hubungi aku. Pengantin baru bukannya sama isteri, justru main hp.
Kei: Aara sibuk dengan tugas mahasiswa.
Fajar: Hahaha. Udah ngobrol?
Kei: Udah 3 kalimat.
Fajar: Hahaha. Ya Allah Kei. Ingat, kamu susah payah perjuangin dia, lho.
Kei: Aku gak tahu, mau ngomong apa. Aku seperti takut sama Aara.
Fajar: Hahaha. Terus ngapaian kamu mau nikah sama dia kalau takut?
Kei: Setiap dekat Aara, aku selalu gemetaran, Jar. Bicara pun sulit.
Fajar: Sudah. Selesaikan saja sendiri!
Kei: Jar?
Fajar tidak lagi membalas pesan. Kei sibuk memegang kepalanya.
Dia bingung menghilangkan rasa gugupnya. Dia ingin sekali ngobrol banyak dengan Aara.