Lelaki Pilihan

Syafaa Dewi
Chapter #3

KEPUTUSAN

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

(QS. Luqman:18)

***

Gunawan bergegas ke luar mobil setelah menerima telepon dari perusahaan. Akan ada rapat besar esok pagi, ia diminta turut andil dalam konsumsi karena daerah rumahnya banyak terdapat restoran dan catering.

Jam pulang kantor sudah tiba. Seperti Jakarta di sore hari pada umumnya, jalanan mulai ramai dan padat. Ia tidak bisa berlama-lama karena harus menyiapkan berkas-berkas untuk keperluan rapat. Dan jika harus membeli makanan esok pagi, mungkin juga tidak akan sempat.

Ia memperlambat mobilnya, melihat ke kanan dan ke kiri barangkali ada restoran yang sudah buka. 

...

Nihil, ia baru ingat bahwa semua restoran yang ada di sekitar rumahnya buka pada malam hari.

Apa yang ada di pikirannya saat ini?

Ia berjalan menuju seorang pemuda penjual putu keliling yang sedang ramai pembeli.

Mungkin ini cocok untuk jadi makanan pembuka. Banyak pembeli. Hmm... Mungkin enak. Sedikit cemilan untuk rapat besok mungkin cukup. Batinnya.

Seorang lelaki dewasa turun dari mobil dengan pakaian rapi dan rambut tertata wangi.

"Sssttt... Ssstt... Bisa dijadiin sugar daddy, nih..." Bisik para pembeli yang kebetulan para remaja tanggung. Seperti biasa, mereka selalu mampir ke dagangan pemuda itu, bukan untuk membeli, hanya karena ingin melihat wajahnya yang tampan.

"Permisi Mas, saya mau pesan 15 porsi bisa? Tapi saya sedang buru-buru. Nanti malam bisa tolong antar ke alamat rumah saya? Nanti ongkosnya saya bayar juga, deh. Ini kartu nama saya." Pintanya setelah melihat ramainya pembeli di sana dan ia tidak dapat menunggu lama.

"Oh, iya.. Insyaa Allah bisa, Pak." Pedagang itu menyanggupinya.

"Alhamdulillah. Kalau begitu saya permisi dulu. Wassalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullah.."

***

Rumah besar berlantai dua dengan halaman yang luas menambah kesan mewah pada rumah itu. Lampu-lampu taman yang menghiasi sisi kanan dan kiri jalan, suara percikan air mancur dengan design antik seakan menyuarakan kekayaan dan kemewahan tanpa batas bagi setiap orang yang melihatnya.

Seorang lelaki datang dengan kaos oblong menekan bel rumah itu dengan hati-hati.

Kemudian...

Bagaimana Kira tidak terkejut? Di depannya ada seorang pedagang aneh yang hampir ditabraknya siang tadi.

Apa dia datang untuk meminta pertanggungjawaban? Tapi, dari mana dia tahu alamat gue??? Batinnya sembari menatap tajam pedagang itu dari bawah hingga atas.

"Astaghfirullah..."

Lagi. Pertemuan kedua dengan Kira menyisakan kalimat istighfar sebagai pembuka yang terucap di mulut pedagang tersebut. Ia langsung menunduk.

"Lo yang tadi siang, kan? Ngapain ke sini? Mau minta pertanggungjawaban? Kan udah gue bilang bukan gue yang salah. Tahu alamat gue dari mana? Haaa... Lo ngikutin gue ya?" Jari telunjuk Kira berada tepat di depan wajah lelaki itu.

"Maaf, Mbak. Bisa turunkan telunjuknya?" Pintanya.

Kira kemudian melipat kedua tangannya di depan dada.

Seakan tak menghiraukan beribu pertanyaan darinya, pedagang itu langsung mengajukan sebuah pertanyaan, masih dengan kepala menunduk. "Apa benar ini rumah Pak Gunawan Wijaya?"

"Ya, benar. Ada perlu apa lo ketemu Bokap gue?"

Tiba-tiba Gunawan muncul. "Siapa, Ra?"

Kira memajukan bibirnya yang tertuju ke arah pedagang itu.

Gunawan melirik, "Eh.. Mas penjual putu, kan? Ngantar pesanan saya, ya?"

"Iya, Pak. Ini pesanannya. Semuanya 75 ribu. Ongkosnya tidak perlu dibayar karena kebetulan rumah saya tidak begitu jauh dari sini." Kata pedagang itu.

Lihat selengkapnya