"Sudah? Sudah siap ngomongnya?" Pekik gadis itu sembari berdiri dari kursinya.
Ia melanjutkan, "Papa gak pernah ngertiin Ra! Papa selalu ngambil keputusan semau Papa! Papa tahu kenapa Ra pergi ke klub? Ra kesepian, Pa. Kesepian! Papa selalu sibuk dengan bisnis! Papa gak ada waktu buat Ra. Baru beberapa hari ini saja Papa di rumah, kan? Kemarin kemana saja?! Ke luar negeri terus! Bisnis terus!!! Ra gak ada tempat untuk nuangin keluh kesah hati Ra. Ra kangen sama Mama. Papa gak bisa jadi ayah sekaligus ibu buat Ra. Ra bisa apa?..."
Gunawan hanya bisa terdiam melihat putrinya yang penuh emosi. "... Kita memang punya banyak harta, tapi kalau di keluarga sendiri merasa asing buat apa? Beban Ra banyak, Pa.. Ra harus ini lah itu lah.. Semua peraturan Papa harus Ra lakuin. Ra juga punya dunia sendiri. Papa selalu nasehatin Ra soal agama, tapi apa yang Papa nasehatin gak Papa lakuin... Papa maunya apa? Apa, Pa??? Hikss... Hiks..."
Air mata gadis itu tumpah. Suaranya bergetar, tanda emosinya memuncak. Ia menangis sejadi-jadinya.
Ia melanjutkan, "Sekarang.. Papa mau ngatur hidup Ra? Kebahagiaan Ra dengan dalih harta warisan? Pa, Ra bukan tempat titipan!"
Gunawan tak pernah melihat putrinya semarah itu. Apakah yang ia lakukan selama ini salah?
Semenjak kepergian istrinya, ia disibukkan dengan pekerjaan yang menuntut setiap waktu hingga tak sempat memperhatikan putrinya.
Kepalanya menunduk, mengacak-acak rambutnya, dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berusaha berbicara tapi wanita yang masih penuh emosi itu menghalanginya.
"Kira.. Sayang... Maafin Papa, ya.." Gunawan mencoba mengelus rambut putrinya dan ingin segera memeluk tubuh yang mulai melemas itu.
"Ra???..."
Nihil, Kira berlari pergi menuju kamarnya.
***
DANG DING DUNG TAK TAK TAK DANG DING DUNG JEG JEG JEG
Suara musik di klub menggema. Lampu berkelap-kelip menambah nuansa ramai di sana. Senda gurau tak luput dari perhatian para pengunjung. Siapa lagi kalau bukan The Girls. Merekalah yang meramaikan tempat 'haram' itu.
Seorang wanita mendekati mereka. Perempuan dengan wajah sayu dan terlihat stress.
"Lo? Ngapain di sini? Mending lo pulang. Gak usah nambah-nambahin masalah kita deh, Ra." Teriak Dara.
Kejadian kemarin malam membuat sifat teman-temannya berubah. Kecuali Ivan, pacarnya.
"Eh... Jaga mulut lo, ya. Bisa-bisanya lo ngomong gitu ke pacar gue." Jari telunjuk lelaki itu mengarah tepat ke Dara.
"Paan sih lo. Biasa aja kali. Lo nyadar nggak, ni anak nyusahin kita. Bokapnya bisa lakuin apa aja ke kita. Lo mau kita masuk penjara? Ha? Gue sih ogah. Lo pacarin aja nih anak biang masalah."
"Jaga mulut lo." Tegasnya.
Pandangan Ivan kemudian menatap teduh gadisnya. "Sayang.. Kamu ngapain di sini? Pulang gih. Ntar Papa kamu marah kita juga yang disalahin." Suara lembut Ivan memang selalu membuat wanita luluh. Tak bisa dipungkiri, itu benar adanya.
"G-gue... Gue... Gue mau minta maaf sama lo semua atas perlakuan Bokap gue kemarin. Hmm.. Semalam gue juga berantem sama bokap setelah kalian pulang. Dan ya.. Gitulah."
"Ha? Maaf? Emang udah lebaran ya? Kok aku gak tahu? Oo yaudah.. Mohon maaf lahir batin ya Kira.." Tangan Pika menjabat tangan Kira.
"Lo apaan sih, Pik. Gue remes juga deh lo. Lo juga kak, paan sih belain dia.. Mentang-mentang dia pacar lo, gitu? Dih.. Basi. Toh dia juga bakalan ninggalin lo. Percaya sama kata-kata gue." Caca merasa pasti.
"Gaklah. Gak mungkin. Gue tau Kira setia.. Yakan, Sayang?"
"Enggak, Van. Caca bener. Gue mau dijodohin sama Papa. Dan kita harus putus." Kepala Kira menunduk dan siap menjatuhkan air mata yang sedari tadi menggenang. Ia siap jika Ivan akan marah. Ia siap menanggung semua resikonya.
"Apa?!" Volume suara lelaki yang berpakaian ala rocker itu mengeras.
"Maaf, gue harus pergi." Langkah Kira memanjang dan siap berlari.
Ia tak kuasa jika dihadapkan dengan persoalan putus dari pacar yang sangat ia cintai sekaligus memutuskan hubungan yang belum lama ia jalin dengan The Girls.
Ia terpaksa memilih dijodohkan daripada kehilangan harta warisan.
Bukan gila harta. Hanya saja ia tidak mau seluruh harta itu jatuh di tangan yang salah. Bagaimana dengan nasib perusahaan dan karyawan papanya nanti?
Setidaknya pikiran wanita itu cukup dewasa saat ini.
***
Angin bersemilir
Petir menyambar
Gelap terang bersemayam di relung hati