Semua orang menginginkan jodoh yang terbaik. Namun, tidak ada salahnya 'kan menjadi lentera untuk mereka yang masih nyaman di kegelapan?
-Anonim
***
Terlihat banyak miniatur Ka'bah terpajang di atas lemari. Rak buku penuh dengan berbagai macam judul islami. Hanya pemandangan yang kurang menarik terlihat di salah satu meja sudut ruangan, ada Rizky di sana. Ia gelisah. Sebelah tangannya menopang kepala, ia mengetuk-ngetuk pulpen ke meja di depannya, seperti ada hal berat yang ia pikirkan. Jelas ini mengambil alih pusat perhatian Haris −teman sekamar sekaligus senior Rizky di pondok− yang sedari tadi melihat sahabatnya itu gelisah.
"Kenapa, Ky? Gelisah tenan?"
"Ha? Oh. Ra. Rapopo, Mas hehe.."
Walaupun ia berusaha menyembunyikan masalahnya, namun Haris tahu apa yang membuat laki-laki itu gelisah, mengingat mereka sudah lama berteman dan pasti sudah saling mengenal pribadi masing-masing.
"Wes, gak usah bohong. Aku tahu kamu itu gimana, monggo... Cerita wae karo aku."
Mungkin benar apa kata Haris, kali ini Rizky membutuhkan teman untuk mendengar gundah gelisahnya, barangkali ia dapat membantu.
Ia memutar badan ke samping, menghadap Haris. "Jadi gini lho, Mas... Aku tadi kan ke ruangan Pak Kyai, di sana ada Pak Gunawan, riko kenal to sama beliau?"
"Sek.. Sek.." Haris terlihat berpikir, "Haa... Investor tetap, to?"
"Nggeh.. Kyai nyuruh aku nikah sama anaknya, dijodohin gitu loo.."
"Lah.. Bagus dong. Masalahne opo? Bukannya kemarin riko memang mau nikah muda? Mau cari istri? Ini udah dateng kok dipusingin."
"Makanya dengerin aku dulu. Masalahne anak'e Pak Gunawan iku sikapnya amburadul, aku pernah jumpa dia dua kali, pakaiannya itu lho, Mas.. Astaghfirullah.. Malu aku lihatnya." Rizky menunduk dan geleng-geleng kepala.
"Terus?"
"Masa aku nikah sama dia? Bukannya Allah bilang dalam Surah An-Nur ayat 26 bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik, begitu juga sebaliknya, to?"
"Nggeh.. Tapi apa kamu yakin kalo kamu udah menjadi laki-laki yang baik? Hmm? Yakin kadar keimananmu sudah mencapai tingkat yang paling atas? Jangan sombong, Ky."
Rizky terdiam, berpikir...
"Bisa saja Allah menghadirkan dia untukmu sebagai jalan untuk meningkatkan derajatmu di hadapanNya, bisa juga memang dia yang sudah ditakdirkan di Lauhul Mahfuzh untukmu. Ky.. Setiap pendosa punya kesempatan menata masa depan yang lebih baik, dan orang yang sudah baik pasti juga pernah punya masa lalu yang buruk, kan?"
Haris melirik Rizky,
"Jangan mempersempit kesempatan orang untuk bertaubat. Pintu taubat Allah itu luas. Jangan disempitkan dengan pemikiranmu yang seperti itu. Bukannya tugas suami adalah membimbing istrinya? Kamu senang berdakwah, membimbing junior-juniormu di sini ke jalan Allah, bahkan sampai-sampai satu pesantren kenal sama kamu, masa untuk membimbing seorang wanita saja kamu tidak bisa? Memang setiap orang ingin mendapatkan jodoh yang baik, namun jika kita hadir sebagai orang yang memperbaiki apa salahnya? Bukankah proses perbaikan itu adalah proses yang paling berkesan?...."
Rizky masih diam.
"... Ky, jadilah lentera untuk orang lain."
DEG!
Entah mengapa perkataan Haris membuat Rizky meneteskan air mata. Semua yang diucapkan Haris benar adanya. Ia terlalu sibuk mencari jodoh yang sempurna, padahal untuk menjadi baik saja juga belum tentu . Sama-sama memperbaiki dan melengkapi apa salahnya?
"Baiklah, Mas. Aku paham. Apa yang riko jelasin memang benar. Insyaa Allah aku ikhlas menikahinya."
"Alhamdulillah.. Ingatlah semata-mata untuk mengharap ridho Allah."
"Nggeh, Mas.."
***
Malam itu...