Sore yang cerah itu menutup letih Rizky setelah seharian berdagang. "Alhamdulillah..." Kalimat rasa syukur terucap dari mulut laki-laki yang sedang menyapu peluhnya.
"Assalamu'alaikum.." Sahut Rizky mencoba mengucap salam dari teras rumah.
Sepi, tidak ada jawaban sama sekali.
Saat ia mulai menarik gagang pintu, ternyata dikunci.
Kira.. Ke mana dia? Jam segini kok belum pulang? Saya khawatir. Batinnya sembari mengintip ke dalam rumah dari luar jendela.
Kini ia mengambil ponsel dan hendak menelpon gadis berambut ikal terurai itu, namun tiba-tiba sebuah taxi berhenti tepat di depan rumahnya. Sontak hal itu menarik perhatiannya saat ia melihat perempuan yang ia khawatirkan keluar dari dalam taxi dengan air muka tidak karuan.
"Thanks, Pak." Kata Kira dengan lemas kepada supir taxi.
"Kira, kamu dari mana? Kenapa baru pulang jam segini? Ke mana saja? Kok gak ngabarin saya?" Sungguh ekspresi khawatir yang teramat jelas tampak di wajah Rizky. Ia menyuguhkan seribu pertanyaan kepada wanita di hadapannya.
"Jangan bising! Aku capek!" Balas Kira dengan nada bicara cukup tinggi dan langsung memasuki rumah tanpa bicara sepatah dua patah lagi.
Rizky paham akan hal itu. Melihat air muka Kira, ia tahu bahwa perempuan itu tidak ingin diganggu saat ini. Namun, ia sungguh tidak mengerti akan apa yang terjadi pada istrin. Mungkin besok akan kutanyakan. Pikirnya.
***
Sebuah bantal empuk kini berada dalam pangkuan Diana. Ia masih gelisah lantaran mengingat kejadian pagi tadi. Ia sudah berusaha untuk berhusnudzon, namun terkadang perasaan dan pikiran tidak pernah seimbang.
Perempuan itu siapa sih? Ah! Benar-benar mengacaukan malamku saja. Apa dia???... Enggak. Gak mungkin. Diana.. Keep calm.. Santai Di... Gak mungkin itu istri Rizky.. Kalau beneran hal itu terjadi, maka aku yang pertama kali menolak! Tegasnya dalam hati sembari meremas bantal yang ada di pelukannya.
Diana melirik sekilas dari jendela kamarnya yang bersebrangan dengan dapur rumah nomor 21B itu.
Sepi. Tidak ada keramaian yang terlihat di sana.
Rikzy sedang apa, ya?
Ia melirik jam, pukul 21.30 tepat. Selamat tidur my prince.. I will stay here for you.. For us! For our love! Ia menegaskan kata-kata itu dalam hatinya.
***
Pagi terasa lebih cepat menghidupkan cakrawala. Mentari yang bersinar di ufuk timur, embun yang menetes membasahi daun, hembusan angin pagi dengan segarnya menambah nuansa ceria berkelabut tawa di wajah lelaki yang baru saja menyelesaikan sholat shubuh.
Ia berdiri di antara tanaman bonsai di terasnya, menarik nafas dalam dan menghembuskannya keluar dengan ikhlas. Yaa Allah.. KuasaMu..
Seketika ia teringat Haris, seniornya di pesantren kala itu. Seorang sahabat sekaligus kakak yang selalu menjadi kebanggaannya. Ia mengambil ponsel dan mulai menelpon, berharap nomornya masih aktif lantaran Rizky belum pernah menghubunginya pasca pernikahan.
"Alhamdulillah telponnya nyambung.."
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, le..". Sahut lelaki dewasa di sebrang telpon sana.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Mas. Alhamdulillah.. Piye kabare?"
"Alhamdulillah apik. Riko piye?"
"Alhamdulillah apik juga, Mas."
"Eneng opo nelpon pagi-pagi?"
"Ora popo, Mas. Tiba-tiba ingat Mas saja. Gimana pesantren? Kyai piye? Sehat?"
"Keadaan pesantren? Yo... seperti waktu kamu masih di sini. Kyai juga sehat Ky, alhamdulillah."
"Alhamdulillah. Mas kapan main ke Jakarta? Aku rindu, lho..."
"Ahahah... Eneng-eneng ae riko. Masa rindu karo aku. Kalau ke Jakarta harus menginap satu atau dua malam Ky, Mas mana bisa pergi dan pulang di hari yang sama. Capek."
"Lah... Itu kok dipikirin, Mas. Nginap di rumah aku lah. Masih banyak kamar kosong. Orang tuaku kan belum pulang dan gak tahu kapan pulangnya, jadi kamar masih banyak yang kosong. Di rumah kan cuma ada aku sama Kira."