"Kenapa sih Mas gak ngabarin saya kalau diizinin Pak Kyai mau datang?" Tanya Rizky di sepanjang perjalanan.
"Ra popo, Ky. Mas gak mau ngerepotin kamu."
"Ya ampun, Mas.. Macam sama siapa saja."
Haris hanya tersenyum.
Beberapa saat kemudian ia melanjutkan, "Ky, kamu nganterin Mas sampai rumah pakai mobil ini?"
"Ndak, Mas. Nanti Mas saya turunin di depan komplek saja, ya. Masuk ke dalamnya jalan, gak begitu jauh kok dari depan. Cari saja rumah nomor 21B." Jelasnya.
"Nggeh.. Hm.. Ky? Mau sampai kapan kamu nyembunyiin semua ini? Apa kamu ndak takut istrimu marah dan mengambil tindakan di luar perkiraan?"
Rizky terdiam berpikir. Lalu menghela nafas panjang, "Mungkin nanti Mas, saat dia telah benar-benar mencintaiku."
"Kamu gak takut dia tahu dari orang lain?"
"Ya... Wallahu a'lam, Mas. Aku serahkan sama Allah."
Tidak ada percakapan di antara mereka selama beberapa saat.
Hingga Rizky melanjutkan, "Sebenarnya beberapa hari yang lalu Kira sudah menanyakan hal penting yang merupakan rahasia yang benar-benar kusembunyikan itu. Dengan alasan sibuk, aku tidak menghiraukan pertanyaannya, hatiku berkata bahwa saat itu bukan waktu yang tepat, Mas."
"Lebih baik kamu langsung memberitahunya, Ky. Daripada dia tahu dari orang lain itu akan memberi dampak yang buruk buatmu."
"Nggeh, Mas. Nanti saya pikirkan."
Mobil itu kemudian berhenti tepat di depan komplek. Rizky kembali ke showroom untuk mengembalikan mobil dan melanjutkan berdagang.
***
Di depan showroom, Caca dan Dara masih terdiam tak menyangka atas fakta yang baru saja terkuak.
"Aduh, masih gak nyangka gue, Dar. Tajir gila tu orang." Kata Caca dengan tangan yang menyangga dahi.
"Yaaa gitulah, Ca. Yang ada di pikiran gue sekarang kenapa dia masih mau jualan putu gitu?"
"Feeling gue ni ya, yang dia lakuin itu kaya semacam penyamaran yang ada di sinetron-sinetron. Kan banyak film kaya gitu. Dia tajir melintir tapi nyamar jadi orang miskin biar dapat istri yang gak gila harta."
"Kebanyakan nonton sinetron lo, Ca. Tapi ada benarnya juga sih. Atau jangan-jangan Kira belum tahu soal ini?"
"Dar, kalau Kira belum tahu, kenapa dia bisa nyaman tinggal di komplek berstandar internasional kaya gitu tanpa rasa penasaran coba?"
"Au ah. Pusing gue mikirnya. Telpon Luna sama Pika gih, suruh kemari jemput kita, gue mau pulang."
***
Rumah nomor 21 B, 21 B, 21 B.. Batin Haris sembari menoleh ke kanan dan ke kiri mencari rumah yang dimaksud.
Saat bola matanya sibuk memutar menatap sekitar, didapatinya seorang wanita berpakaian muslimah sedang menyapu teras rumah, Diana.
DEG.
Jantung Haris berdetak lebih cepat dari biasanya.
Subhanallah bidadari surga... Hatinya bertasbih.
Tiba-tiba..
"Duh!" Teriaknya kesakitan saat matanya yang tidak berkedip sedari tadi tiba-tiba kemasukan debu dan menyisakan mata perih berair.
Teriakannya mengambil alih perhatian Diana. Ia mendekati Haris yang terlihat bingung.
Jangan mendekat, jangan mendekat, aku gak sanggup. Yaa Allah janganlah Kau buat jantung ini berhenti berdetak karena bidadari itu, amal hamba masih sedikit Yaa Allah..
Haris melangkah mundur sedikit demi sedikit.
"Ada yang bisa di bantu, Mas?"
Mas? Dia panggil aku 'Mas'?
"Mas???" Jentikan jari tangan Diana menyadarkannya dari lamunan.
"Eh. Iya 'mai'? "
"Mai? Nama saya Diana, mas. Bukan Mai."
Astaghfirullah, Ris.. Ghadul bashar! Batinnya.