"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Sahut perempuan berjilbab hijau tua di gazebo kampus siang itu. Sontak hal itu membuat The Girls pangling.
"Kira?" Tanya Caca ragu.
"Iya, ini saya. Shakira Azzahra." Balasnya dengan senyum ramah.
Dara, Caca, Luna, Pika, bangkit dari duduknya.
"Kesambet apa lo bisa jadi gini? Diguna-guna suami lo, ya?" Sambung Dara.
"Astaghfirullah.. Jaga bicaramu, Dar. Saya tidak suka kamu menjelek-jelekkan suami saya."
"Kenapa? Masalah? Bukannya lo juga terpaksa dengan pernikahan itu?"
Kira tersenyum tipis. "Itu dulu. Sekarang saya sudah ikhlas. Saya sudah tahu bahwa Rizky adalah lelaki pilihan terbaik yang diciptakan Allah sebagai pelengkap iman saya. Jadi saya tidak suka jika kalian menjelek-jelekkannya."
Luna mengelilingi Kira sembari melontarkan kata-kata yang seharusnya tidak pantas untuk diucapkan. "Hello... Shakira Azzahra, pewaris tunggal dari pengusaha terkenal, Gunawan Wijaya, yang hidup serba glamour dan 'dulu' suka pergi ke klub, sekarang sudah taubat, Mbak??? Dasar sok suci lo! Basi tahu gak?!"
Mata Kira berkaca-kaca.
"Sorry nih, Ra. Orang yang penampilannya kaya lo gak pantes masuk di The Girls! Gak modis. Apaan pakai jilbab, pake gamis, kaya ibu-ibu , ya gak girls???" Ejek Caca.
"Eh, jangan kasar-kasar. Kasihan Kira." Lanjut Pika.
"Pika. Diam. Ini urusan kita." Dara melanjutkan, "Iya, kaya ibu-ibu. Gak pantas jadi anggota The Girls. Ke laut saja sana!"
Mereka semua menertawakan Kira dengan penampilan barunya. Kini ia berontak, "Justru itu saya kemari ingin mengatakan bahwa mulai sekarang saya keluar dari The Girls. Saya tidak bisa berteman dengan orang-orang yang tidak bisa menghargai keputusan orang lain. Buang-buang waktu. Saya harap kalian segera berubah menjadi orang yang baik dan tidak merendahkan orang lain lagi. Apalagi jika berpenampilan seperti ini. Apa yang salah? Islam itu agama yang suci, agama yang sempurna, lalu mengapa kita malu melaksanakan syari'at-Nya? Semoga Allah mengampuni dosa-dosa saya dan kalian. Saya permisi dulu,." Kira pergi meninggalkan mereka dengan hati yang gelisah. Ia tidak menyangka bahwa perubahannya sangat ditentang oleh teman-teman terdekatnya. Kini ia sadar, bahwa semua yang terlihat baik di matanya, belum tentu baik di mata Allah.
Ia memperpanjang langkah kakinya sembari berlari kecil. Menahan bendungan air di pelupuk matanya yang hendak mengalir. Kini ia berada di mushola, meluapkan seluruh tangisnya tanpa perlu ada yang tahu kecuali Dia, Sang Maha Pembolak-balik Hati Manusia.
Ia mengambil ponsel. Rasanya ingin sekali ia menceritakan beban di hatinya kepada suaminya.
"Assalamu'alaikum, Mas." Salamnya dengan suara bergetar.
"Wa'alaikumussalam, Sayang. Eh?.. Kamu lagi nangis, ya? Ada apa? Sini cerita sama Mas." Seakan tahu apa yang sedang dialami istrinya, Rizky yang sedari sibuk dengan pekerjaannya, mulai menutup laptop dan membiarkan semuanya terbengkalai hanya karena ingin menjadi pendengar yang baik untuk istrinya.
"Maunya ketemuuuuu..." Rengeknya seperti anak-anak yang minta es krim.
"Ya sudah. Kamu lagi di mana? Mas susulin, ya?"
"Di mushola deket kampus, Mas. Cepat, ya.... Huaaaaa!!!!"
"Iya, sabar ya Sayang. Istighfar dulu. Mas berangkat, wassalamu'alaikum."
"Hati-hati ya, Mas. Wa'alaikumussalam."
***
Haris sedang merapikan tanaman bonsai yang sudah lebat di halaman rumah. Sesekali ia curi-curi pandang ke rumah nomor 21A. Sudah hampir sore ia belum melihat Diana. Rasanya seperti ada yang hilang.
Diana.. Diana.. Di manakah dirimu? Rasanya hati ini berkecamuk rindu. Rindu yang menghunus dadaku.
Hm... Sabar ya, Di. Mas akan halalin kamu secepatnya!
Tapi, di mana kamu sekarang? Sedang apa?
"Ma???" Diana keluar kamar hendak menemui Mamanya dengan mata sayu.
"Iya, Nak?"
"Di mau kok dijodohin sama anak teman Ayah yang di Madinah itu." Katanya pasrah.
"Eh?"
"Iya, Ma. Di mau kok. Serius."
"Di, jangan melampiaskan kecewa dan marahmu seperti ini dengan orang lain. Gak baik."
"Ada apa, Ma?" Tanya Rahmat –Ayah Diana– yang tiba-tiba muncul dari kamar.
"Ini, Yah. Diana katanya mau dijodohin sama anak teman Ayah yang di Madinah itu, siapa???.... Anaknya Pak Fauzan, Ah! Si Ali."
"Beneran, Di? Wah.. Bagus dong. Keluarga kita dan mereka juga akrab. Tidak ada permasalahan yang berarti. Jadi, lebih cepat lebih baik, 'kan?" Jelas Rahmat.
"Iya, terserah Ayah sama Mama saja. Kalau gitu Di mau ke kamar dulu." Diana meninggalkan mereka dengan langkah pelan.
"Iya Sayang."
"Kalau gitu, Ayah juga mau kabari Pak Fauzan ya, Ma."
"Iya."
***
Rizky telah sampai di mushola seperti yang diberi tahu Kira. Suasananya memang sepi, ditambah di kelilingi dengan berbagai macam pohon, membuat mushola itu sejuk dan damai. Cocok bagi hati yang gelisah.
Rizky melihat pujaan hatinya di sudut ruangan.
Tok tok
"Assalamu'alaikum.." Sahutnya
"Wa'alaikumussalam..." Kira menoleh ke arah sumber suara. "Mas..... Huaaaaa!!!!!" Ia berlari menghampiri Rizky kemudian memeluknya. Tangisnya kian pecah dalam pelukan itu.
"Eh, eh.. Kenapa Sayang?? Istri Mas yang cantik kenapa??? Sini cerita sama Mas."
Mereka duduk berhadapan sangat dekat.