Semoga kelak engkau mendapatkan jodoh yang sesuai bahkan melebihi apa yang kau harapkan. -Anonim
__________
"Di... Diana... Ada tamu." Panggil Rahmat.
"Sudah biar saja Mama yang panggil." Isma beranjak dari duduknya memanggil Diana yang tak kunjung muncul saat dipanggil.
"Gimana perjalanan Nak Ali?"
"Alhamdulillah baik-baik saja, Pak."
"Hm.. Ayah kamu memangnya ada urusan apa? Kok gak barengan datangnya?"
"Ayah masih ada urusan di bandara. Cukup lama. Karena khawatir Bapak menunggu kami lebih lama, akhirnya Ayah memutuskan saya untuk jalan duluan."
Rahmat hanya mengangguk pasti.
Tok tok tok
"Di? Ayo bangun." Sahut Isma dari luar pintu.
"Ada apa sih, Ma?? Di masih ngantuk. Baru juga tidur. Di baruuuuu saja nyiapin tesis." Teriak Diana dari dalam kamar.
"Ck! Ada tamu di luar. Itu anaknya Pak Fauzan sudah datang, si Ali..."
Ali, ya? Namanya keren sih walaupun gak sekeren Rizky. Orangnya??? Hmm... Mau apa sih Mama sama Ayah?? Biarkanlah dulu anakmu ini jadi jomblo akut. Karena mencintai tapi tidak dicintai bagaikan pungguk merindukan bulan. Batinnya.
"... Kamu segera mandi, siap-siap, dan langsung ke ruang tamu, ya. Mama sama Ayah gak enak sama dia, tamu jauh. Cepatan Di!!!" Balas Isma yang melangkah meninggalkan kamar dengan pintu yang ber-cat putih itu.
...
Jendela yang berseberangan dengan kamar Diana itu terbuka lebar. Cahaya mentari masih menjadi sinar utama dunia siang itu. Terbalut dalam sebuah perasaan penuh haru. Terbungkus dalam susunan rasa kecewa.
Sudahlah, Ris. Lupakan dia. Wanita itu gak cuma dia. Seakan hati kecilnya berbicara padanya.
Tapi gak ada yang seperti dia! Akalnya membantah.
Sampai kapan kau menyembunyikan perasaanmu? Lihat saja sekarang, belum apa-apa dia sudah dijodohkan. Kamu? Bilang suka saja susah banget.
Cinta itu bukan sekadar diucapkan. Tapi butuh pertanggungjawaban.
Yasudah. Toh nasi sudah menjadi bubur. Cukuplah sekarang kau doakan kebahagiaannya dan mulai menata diri menjadi Haris yang baru. Dengan pribadi yang baru, dengan cinta yang baru, dan dengan dia yang baru.
I'll try.
Haris mengacak-acak rambutnya. Akal dan hati yang bertolak belakang membuatnya bingung harus bertindak seperti apa. Ia yang sedari tadi membelakangi jendela, perlahan tapi pasti mulai memutar kepalanya.
Di... Sedang apa?
Nihil. Kamar jendela yang berseberangan dengannya itu tertutup rapat. Bahkan tidak terlihat cahaya sama sekali.
Yaa Allah.. Bisakah aku mengikhlaskannya?
Seketika Haris mengingat masa lalu, saat di mana ia baru pertama kali bertemu Diana, mengenalnya secara perlahan, bahkan rasa itu telah menetap sejak dua bola mata kecoklatan itu menatapnya sangat dalam. Belum lagi saat Diana memberikan senyumnya sore itu. Saat senja mulai menampakkan sinarnya. Saat di mana untuk pertama kalinya seorang Haris dikenalkan secara langsung oleh orang tua gadis yang ia cintai. Waktu itu... Waktu saat Diana meluapkan emosinya saat bola tepat mengenai kaca depan mobilnya. Ah! Wajah dengan pipi membesar kemerah-merahan menjadi hiburan tersendiri baginya sore itu.
Hingga kini...
Saat ia mendengar secara langsung dari orang tua Sang Bidadari Surga bahwa ia telah dijodohkan dengan orang lain, semua hancur!
Tanaman yang baru saja ia rawat, siram, diberi pupuk, dan bertumbuh, kini hancur sudah! Ketika kerasnya irama angin meluluhlantakkan apa yang telah ia bangun dan ia jaga.
Ya, hati. Hati yang hancur di saat benih mulai tumbuh dan berkembang. Benih-benih cinta yang baru ia rasa, harus terpaksa direnggut hanya karena sebuah ketidakberanian.
Penyesalan ini tidak akan terulang untuk kedua kalinya! Jadilah Haris yang baru! Semangat!
***
"Kak, gue mau ke kafe. Gak mau ikut?" Ajak Caca setelah mereka tiba di rumah.
"Hm.. Enggaklah, Dek. Gue mau istirahat dulu. Gila lo, ya. Lo kira badan gue ni apaan? Masakin gue kek, pijitin badan gue kek, atau apa kek, ini langsung cabuuutttt saja. Adek durhaka, lo." Kata Ivan kesal.
"Halah.. Badan lo aja yang capek. Tapi hati lo gak pernah capek untuk mencintai istri orang lain, tuh." Ejek Caca. "Gue mau pergi. Kalau lo butuh apa-apa kan ada asisten (ART), jadi gak usah manja. Bye..." Caca pergi meninggalkan Ivan dengan sebuah kalimat yang menghantuinya.
"Eh, btw lo kapan take off?"
"3 hari lagi deh kayanya."
"Oh, oke. Bye!" Caca pergi meninggalkan Ivan yang sedang terkulai di sofa.