"Stop! Ada apa ini?! Ra, mau pergi ke mana malam-malam begini dengan koper?" Kegaduhan di rumah itu seketika senyap ketika seorang laki-laki dengan kemeja cream bertanya dengan volume suara meninggi, Ali.
"Kamu tidak perlu ikut campur urusan keluarga saya. Memangnya kamu siapa? Pergilah! Permisi, kami sudah terlambat." Rizky tak menghiraukan pertanyaan Ali. Ia bergegas membawa Kira ke dalam mobil.
"Tolong jangan egois Ky. Lihat keadaan Kira. Dia lemah. Dia juga sedang hamil, bukan?"
Rizky menghentikan langkahnya dan melirik Ali, heran. "Untuk apa kau peduli pada istriku? Apa urusanmu?!"
"Hei.. Hei.. Tenang Ky. Jangan salah paham. Tolong jangan egois. Oke, aku gak akan ikut campur urusan keluargamu, tapi lihatlah kondisi istrimu yang masih lemah, wajahnya pucat, di mana rasa pedulimu sebagai lelaki? Di mana rasa sayangmu sebagai suami? Kau lebih mementingkan keegoisanmu daripada kesehatan dan keselamatan istri dan bayimu?!" Emosi Ali memuncak. Ia tak tega jika Kira harus dipaksa pergi dengan kondisinya yang masih lemah. Di samping itu, ia juga tak rela jika Kira pergi darinya semakin jauh.
"Uhuk!!!" Suara batuk Kira memecahkan keadaan.
"Lihat! Seperti ini kau menjaga istrimu?! Di mana tanggung jawabmu sebagai seorang lelaki?!"
Rizky menunduk. Semua yang dikatakan Ali ada benarnya. Tidak mungkin ia pergi dengan kondisi Kira seperti ini. Ia juga harus memikirkan bayi yang ada di dalam kandungan istrinya. Betapa egoisnya dia. Dia telah membiarkan setan menguasai dirinya.
"Astaghfirullah..." Lisannya beristighfar.
"Ayo.. Katanya mau pergi.." Sahut Rani yang tiba-tiba datang, bersandar di pintu rumah dengan tangannya yang terlipat.
Rizky memandangnya sinis. Lalu apa yang harus kulakukan?. Batinnya berdecak.
"Sudahlah Ky, lebih baik kamu bawa Kira masuk. Tak baik jika ia harus kena angin malam disaat kondisinya seperti ini. Ucapan wanita ini tak perlu kau hiraukan." Telunjuk Ali mengarah ke Rani.
"Tidak. Justru semakin lama di rumah ini, Kira semakin tertekan setiap hari. Kami akan pergi ke tempat lain saja."
"K-kemana, Mas?" Tanya Kira lemas.
"Ke apartemen Mas saja ya, Sayang. Setidaknya kamu tidak ada di sini. Mas khawatir akan berdampak pada kandunganmu jika kamu terus-terusan tersiksa batin di rumah ini." Kata Rizky sembari melirik kedua orang tuanya.
"Hei, apa maksud ucapanmu barusan?! Kau pikir kau siapa?!" Rani menyela.
"Tante, Anda ibunya Rizky? Benar begitu?" Ali bertanya dengan nada sedikit meninggi.
"Yaa, selama ia masih menganggapku sebagai ibunya."
"Maaf jika saya harus berkata seperti ini. Anda orang tua seperti apa yang memusuhi anaknya? Anda mencoba merenggut apa yang menjadi kebahagiaan putra Anda. Tidakkah Anda menginginkan kebahagiaan untuk putra Anda? Tidakkah Anda menginginkan menimang cucu pertama Anda? Saya tidak mengerti Anda orangtua seperti apa. Yang saya tahu, dengan Anda bersikap seperti ini, Anda sudah gagal menjadi seorang ibu."
"Hei, jaga bicaramu!!! Kau benar-benar tidak sopan!!!"
"Maaf saya permisi." Ali bergegas pergi dan tak menghiraukan perdebatan antara ibunya dan Ali.
Yang benar saja. Harga diriku seakan diinjak-injak. Batin Rani kesal.
"Kami juga permisi." Lanjut Rizky yang membawa istrinya masuk ke mobil.
Ada apa ya barusan? Tanya Diana yang sedari tadi mengintip dari balik jendela rumahnya ketika mendengar ada suara gaduh di rumah sebelah.
TING NUNG!! Suara bel rumah menyadarkannya. Ia segera membuka pintu dan melihat Ali sudah berdiri di depannya.
"Al, tadi di sebelah ada apa? Kamu tadi ada di sana juga, kan?"
"Hmm.."
"Tante Rani cari perkara lagi ya?"