Suasana malam itu kian mencekam.
"Papa... Istighfar, Pa... Hiks.. Hiks..."
Mendengar tangis putrinya, Gunawan segera sadar atas apa yang baru saja ia lakukan. "Astaghfirullah... Astaghfirullah.. Apa yang sudah kulakukan." Ia terduduk sembari menunduk dan memegang dahinya.
"UHUK-UHUK!!!" Rani masih terbatuk. Ia menjauh dari Gunawan, takut. "K-kau gila Gunawan. Sungguh!"
"M-maafkan aku, Rani.. Aku tidak tahu kenapa bisa seperti ini. Aku tidak mengerti seketika aku tidak bisa mengontrol emosiku. Kurasa penyakit lamaku kambuh lagi."
"*Intermittent Explosive Disorder (IED)?"
"Iya, kurasa begitu. Aku benar-benar minta maaf atas perbuatanku. Maaf membuatmu takut. Aku harus pergi." Gunawan pun pergi dari rumah itu, khawatir emosinya semakin memuncak.
Dia benar-benar membuatku takut. Batin Rani. Eh? "PAPA!" Teriaknya kepada Tyo yang masih pingsan.
"Apa maksud Mama mengatakan itu kepada Papa Gunawan?!" Emosi Rizky kesal diiringi pikiran yang bertanya-tanya. "Apa benar Papa kamu pembunuh, Dek?"
"Mas.. Papa gak mungkin pembunuh. Adek yakin pasti ini hanya kesalahpahaman saja. Hiks.. Hiks.."
Malam itu sungguh dingin dan mencekam. Hujan yang tiba-tiba turun derasnya semakin mendeskripsikan ketegangan dan kegelisahan yang terjadi di kamar itu.
"Mas... Mas percayalah... Hiks.. Hiks.." Tangis Kira kian pecah.
Mendengar itu, Rizky segera memeluk istrinya, "Ssstt... Ssttt... Tenang Sayang.. Jangan menangis seperti ini... Iya, Mas percaya sama kamu. Jadi, tenanglah.." Katanya, mencoba menenangkan Kira.
"Mas, Adek mau ketemu semuanya besok. Adek mau minta penjelasan, hiks.. hiks.."
"Lebih baik kamu tidak usah memikirkan ini, Sayang. Biar Mas saja yang cari tahu semuanya, ya. Kamu istirahat saja. Jangan stres." Dekapnya.
"Tolong, Mas... Izinkan Adek ikut. Dari perkataan Mama Rani sepertinya sumber masalahnya ada di Papa Adek. Adek mau ikut, Mas.. Adek mau tahu apa sebenarnya yang terjadi di antara mereka di masa lalu. Kenapa Papa dicap sebagai seorang pembunuh? Hikss.. Hiks.. Papa tidak bersalah, Mas.." Kata Kira yang berbicara sesenggukan.
"Baik.. Baik.. Kita akan temui mereka semua besok. Tapi dengan syarat sekarang kamu harus berhenti nangis dan istirahat. Ayolah, Sayang... Mas sungguh khawatir."
Kira mengangguk dan bersiap-siap tidur.